Kehangatan Keluarga di Losmen Bu Broto

Sejak lama saya sudah mendengar bahwa drama Losmen Bu Broto yang ditulis dan disutradarai pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing sangat terkenal sebagai serial televisi yang dinanti-nantikan penayangannya pada era 1980-an. 

Entah mengapa saya selalu melewatkannnya. Saya masih kanak-kanak saat serial ini ditayangkan TVRI pada 1986 hingga 1989, usia yang belum tertarik pada drama-drama keluarga. Tiga dekade kemudian, serial ini diadaptasi ke film lepas oleh duet sutradara Eddie Cahyono dan Ifa Isfansyah pada November 2021, saya juga tidak pergi ke bioskop, barangkali karena pandemi Covid-19 belum usai kala itu.

Jadi meskipun sudah melegenda, bagi saya menonton Losmen Bu Broto, The Series, di TV Streaming Netflix, merupakan sesuatu yang baru, benar-benar belum mengetahui karakter-karakter tokoh yang terlibat.

Series Losmen Bu Broto digarap delapan episode oleh Paragon Pictures dan Ideosource Entertainment. Sutradaranya adalah Arwin Wardhana. Arwin mengemas cerita yang lebih kekinian, menyorot persoalan lebih kompleks dengan pergeseran nilai-nilai yang sesuai zaman. Sengaja tidak dibuat jadul namun tetap menghadirkan nuansa nostalgia dari serial aslinya.

Drama berfokus pada kehidupan keluarga Pak Broto diperankan Mathias Muchus, dan Bu Broto (Maudi Koesnadi). Pasangan ini memiliki tiga anak. Si Sulung bernama Mbak Pur (Ayu Sita Nugraha), anak kedua Jeng Sri (Febby Listanti), dan Tarjo (Baskara Mahendra) sebagai putra bungsu. 

Bu Broto sebagai pemimpin bisnis losmen yang didukung dengan baik Pak Broto. Ketiga anaknya diceritakan menghadapi masalahnya masing-masing. Mbak Pur yang "menyepi" sebagai kepala dapur. Ia masih bersedih setelah ditinggal mati calon suaminya, Anton. Di sela menutup diri, Mbak Pur selalu didekati oleh Partono (Augie Fantinus). Cara Mbak Pur bersikap menghargai cinta Partono sungguh indah. Saya suka sekali setiap adegan mereka berdua, terutama ketika berjalan-jalan ke Pasar Kangen di Candi Prambanan. 

Sedangkan Jeng Sri harus berjibaku menyelesaikan konflik dengan suaminya, Jarot (Martin Lio). Mereka sudah punya anak perempuan, Menik. Jeng Sri digambarkan perempuan mandiri yang ingin mengejar karir sebagai penyanyi sehingga ia menolak ajakan Jarot untuk hengkah ke Belanda selama satu tahun karena urusan proyek Jarot. Tipikal dilema keluarga kelas menengah metropolitan.

Drama Mas Tarjo sebagai anak lanang satu-satunya, di series ini mendapatkan durasi lebih besar. Tarjo adalah mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, ia sangat diharapkan menjadi keluarga Broto pertama yang lulus sebagai sarjana. Konfliknya ketika pasangan Jodi (Indra Birowo) dengan Anna (Wulan Guritno) datang sebagai tamu. Jodi adalah sahabat Pak Broto yang banyak membantu usaha losmen. Perlahan Tarjo dan Anna kemudian membangun hubungan "berbahaya" yang dapat merusak nama baik dan bisnis keluarganya. 

The series ini digarap dengan sangat baik dari segala aspek. Cerita, pemain, maupun aspek produksi. Arwin sukses mempertahankan nilai-nilai yang sudah mengakar, tetap menonjolkan sisi keluarga Indonesia dengan budaya Jawa yang kental.

Naskahnya juga terjaga ketat, dan sangat ditunjang akting para pemeran yang berpengalaman. Komposisi pemainnya sangat ideal. Mathias Muchus, Maudi Koesnadi, Ayu Sita, Febby Rastanti, Baskara Mahendra, dan yang lain bermain alami menghidupkan kembali karakter-karakter legendaris.

Kekuatan lain adalah setting dan kostum yang menjadi tempat pusat konflik drama ini. Losmen arsitektur Jawa berkelir putih dan biru mudah dengan banyak ornamen retro. Setiap ornamen itu bukan sekadar hiasan tapi seperti bercerita mengenang nostalgia berkesan, yang dipermanis dengan gaya busana Jawa otentik yang sangat enak dipandang, terasa nyaman dan tenteram.

Menonton series drama ini sangat membekas. Rasa kekeluargaan yang mendalam dengan tatanan nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Saya sekarang mengerti dan bisa merasakan mengapa Losmen Bu Broto sangat terkenal pada zamannya.













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Kenangan di Prambanan Jazz

Review Enlightenment Now: Kehidupan Menjadi Lebih Baik