Jangan Mati Sebelum Ke Toraja


(Situs Kete'Kesu, dok. pri)

Sudah sejak lama saya mendengar banyak kisah tentang Tana Toraja.

Tentang tipikal orang-orangnya yang unik, yang selalu mengawali lafalan “eh” untuk merangkai kalimat; tentang orang Toraja yang katanya mudah dikenali dari bentuk wajah persegi dan garis muka yang keras; tentang panorama alam bukit dataran tinggi yang berundak-undak berwarna hijau segar; membuatku makin yakin bagaimana pun usaha umat manusia menciptakan desain-desain keindahan dengan segala media visual, menjadi tak berarti apa-apa ketika Tuhan menciptakan dengan sempurna alam semesta. Konon katanya sewaktu menciptakan Tana Toraja, Tuhan sedang tersenyum.

Juga tentang ragam budaya Tana Toraja yang sangat tua, lebih tua dari yang diperkirakan dan terus saja dilestarikan sebagai warisan peradaban. Tentang upacara adat kematian atau “Rambu Solo” yang sudah kesohor hingga ke luar negeri dan konon membuat Tana Toraja kondang melebihi nama Makassar dan Sulawesi Selatan itu sendiri. Dan masih banyak lagi kisah menarik lainnya.

Sejak itu pula, saya begitu berharap dapat pergi ke sana, menjejakkan kaki di tanah Makale dan Rantepao, dua kota utama di Tanah Toraja. Entah kenapa beberapa kali rencana berkunjung ke Toraja selalu gagal terealisasikan, ada saja penghalangnya.

Terkadang saat kita mulai berhenti berharap setelah melakukan rangkaian usaha, maka kita sebenarnya telah mendapatkannya, itu menurut orang bijak. Penantian panjang tersebut terbayar tuntas dengan penuh kesan, lebih dari yang saya inginkan sebelumnya. Saya bergembira untuk itu.  

Beberapa waktu lalu, saya ikut rombongan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Makassar (FIS UNM), untuk melaksanakan kuliah praktik lapangan di tempat yang berjarak sekitar 325 kilo meter, membentang ke utara dari Kota Makassar. 

Buat saya yang baru pertama kali berkunjung, prinsipnya sederhana saja, bahwa untuk dapat mengenali suatu tempat, kota atau negara, kita hendaknya bisa mengetahui geografi dan sejarah tempat tersebut. Dengan tahu geografi dan sejarah, maka ikatan emosional dan memorial kita akan dapat menembus ruang dan waktu.

Secara goegrafis Tana Toraja terletak pada 20-30 LS dan 119-120 BT, dengan ketinggian 150 - 3.083 M, dari permukaan laut, merupakan dataran tinggi berbukit pegunungan. Dari kota Makassar untuk dapat menjangkau Tana Toraja, lewat perjalanan darat yang butuh waktu sekitar 10 jam dengan melewati enam kabupaten di Sulawesi Selatan.

Namun, yakinlah perjalanan panjang tersebut tidak akan membuat jenuh, karena kita akan banyak sekali menjumpai pemandangan dan hal-hal yang menarik.

Lepas dari kepadatan Makassar, memasuki Maros yang juga mulai hiruk pikuk para sub urban, konsekuensi sebagai penyanggah ibu kota. Kemudian Pangkep, dengan pemandangan pegunungan curam dan cadas (karst) eksotik. Di Pangkep, kita juga dengan mudah melihat empang-empang yang produktif sebagai penopang kehidupan masyarakat setempat. Lalu melintasi Barru, sejauh-jauhnya mata memandang di balik jendela bis, tersuguhi birunya lautan sepanjang garis pantai selat Makassar.

Kemudian kota kecil Pare-Pare, yang sedikit berbukit dengan nuansa yang religius. Setelah itu memasuki Sidrap, terhampar luas sawah-sawah yang menguning, dan semoga saja kesejahteraan petani kita menjadi lebih baik. Dan sebelum tiba di Tanah Toraja, pemandangan Gunung Nona dan Gunung Buttu Kabobbong yang memesona di Enrekang, menjadi penyegar mata yang sungguh sayang dilewatkan.

***

Sekarang mari kita ketahui aspek sejarah  Tana Toraja. Sudah banyak tahu secara umum bagaimana sejarah budaya yang melekat hingga kini ditengah modernitas peradaban. Saya sangat yakin bahwa hal paling berkesan bila berjunjung ke Toraja adalah wisata budaya sejarah situs-situs purbakala megalitikum, tempat pekuburan orang mati komunitas Toraja.

Rombongan kami tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menapak dan menjejak kaki di lima situs paling menarik di Toraja. Kesatu, adalah situs Bori’ Kalimbuang, terletak 5 kilo meter dari utara Rantepao, merupakan kuburan batu yang banyak dipenuhi Menhir. Sesuai dengan namanya, adalah tempat mayat dari rumpun Bori.

Kedua, situs Ke’te Kesu’, satu desa yang berjarak 4 kilo meter tenggara Rantepao, tempat paling populer kalangan turis asing. Ke’te Kesu’ sangat memikat dengan deretan rumah tongkonan klasik yang saling berhadapan, alang penumbuk padi di sekitar persawahan, dan pekuburan tebing cadasnya. Desa ini juga pusat komunitas pemahat ulung Tana Toraja.

Ketiga, kunjungan berlanjut ke Sa’dan to’ Barana’. Aslinya bernama Sungai Sa’dan, entah kenapa di Makassar ditulis dan dilafalkan Sungai Saddang. Merupakan pusat kerajinan tenun tradisional khas Toraja.

Keempat, kami juga memasuki Goa Londa, konon merupakan pekuburan paling tua. Londa adalah pegunungan batu cadas di mana di bawahnya terdapat goa tempat menyimpan mayat yang diatur berdasarkan silsilah kekerabatan.

Kelima, situs terakhir yang kami kunjungi adalah Lemo, di sini mayat ditempatkan secara terbuka di tengah di dinding bebatuan yang curam, bisa dikatakan pekuburan paling artististik, semacam rumah para arwah bertemu di alam puya.

Selama kunjungan, kami didampingi Jenny Konda, staf Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Tana Toraja. Segala hal yang ingin kami ketahui selalu mendapat informasi dan penjelasan ilmiah dari Jenny. Intinya, menurut Jenny, kematian di Tana Toraja adalah mempersatukan seluruh kerabat untuk saling terus berhubungan. Mereka percaya selain di bumi, masih ada kehidupan di tempat di mana mereka bisa bersatu kembali. Bagi masyarakat Tana Toraja, hampir tidak ada jarak antara kehidupan dan kematian.

Menurut sejarah legenda (Toraja tidak mengenal sejarah budaya tulis). Pada mulanya mayat-mayat disimpan saja di dalam goa dan kemudian setelah itu mulai digantungkan ke dinding dan tebing pegunungan. Semakin tinggi mayat ditempatkan menyimbolkan semakin tinggi strata sosial di komunitasnya.

Akan selalu menjadi pertanyaan, kenapa mayat tidak ditanam saja dalam tanah sebagaimana banyak komunitas di dunia melakukannya?

Ini merupakan filosofi yang terus dilestarikan. Orang Tana Toraja punya prinsip bahwa elemen tanah merupakan tempat yang produktif untuk memberi manfaat bagi kelangsungan kehidupan segala makhluk hidup. Sehingga kurang berguna jika tanah produktif tersebut dijadikan tempat untuk mayat dikuburkan, oleh karena itu dipilihlah goa dan tebing-tebing pegunungan.

Satu filosofis yang mencerahkan, bagaimana komunitas mereka begitu menghargai tanah untuk hajat hidup orang banyak, sementara di banyak tempat lain, tanah diperlakukan tidak sebagaimana harusnya, selalu dijadikan alat merebut kekayaan dan kekuasaan. Kemudian menimbulkan perselisihan, pertikaian, hingga pertumpahan darah hanya karena sejengkal atau sepetak tanah.

Begitulah, di balik keindahan akan panorama alamnya, kekuatan warisan peradaban budayanya, Tana Toraja ternyata menyimpan pesan tersirat yang berharga untuk kita menjalani kehidupan yang lebih damai dan bermakna. Apa pun di dunia ini dapat memberikan manfaat bagi kehidupan kita, termasuk benda mati sekalipun.

Saat menuliskan catatan ini, saya berada di dalam bis yang berkelok-kelok menyusuri perjalanan pulang Tana Toraja ke Makassar. Saya tidak akan lupa pengalaman menakjubkan ini, sempat pula saya membatin sendiri agar saya masih diberi kesempatan untuk kembali ke daerah yang elok ini.

Kini, saya bisa paham seruan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, untuk promosi wisata Visit Sul-Sel, “ Jangan Mati Sebelum Ke Toraja”.

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja