Review 1984: Perjuangan Melawan Rezim Totaliter
Nineteen Eighty-Four (1984) konon salah satu buku paling berpengaruh di abad ke-20. Sebuah novel klasik termasyhur karya George Orwell penyair Inggris yang diterbitkan pada 8 Juni 1949. Sudah 76 tahun diedarkan tapi masih-atau bahkan semakin relevan, dengan kondisi kehidupan di banyak negara modern dewasa ini.
Berlatar pada 1949, bukan 1984, selepas Perang Dunia Kedua, mengisahkan tentang Winston Smith, seorang anggota berpangkat rendah dari "Partai" di negara bagian Oceania, yang frustrasi dengan mata-mata "Partai Dalam" yang pimpin "Big Brother". "Big Brother" yang mahatahu, mengawasi semua orang melalui teleskrin dan secara brutal menghukum para pembangkang, termasuk Winston dan pasangannya, Julia.
Winston bekerja di Departemen Arsip Kementerian Kebenaran. Ia berusia 39 tahun, dengan lima gigi palsu, dan terkena varises akut. Ia harus hidup dengan asumsi bahwa setiap bunyi yang kita keluarkan akan didengar, dan setiap gerakan kita diamati, oleh yang disebut "Polisi Pikiran" Big Brother, penguasa yang mengendalikan segala sesuatu di negara bagian Oceania
Kebiasaan yang akhirnya menjadi naluri Winston untuk selalu menulis buku harian. Menulis untuk menutupi rasa frustrasi sekaligus bentuk perlawanan terhadap partai. Bersama Julia, Winston dengan pikiran dan sikap misteri membangun perjuangan melawan kebencian, tipu muslihat, penindasan, pembungkaman, nafsu berkuasa yang dilakukan pemimpin diktator.
Orwell sangat lugas mengeksplorasi tema-tema pengendalian media massa, pengawasan pemerintah, totalitarianisme dan bagaimana seorang diktator dapat memanipulasi dan mengendalikan sejarah, pemikiran, dan kehidupan sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dapat menghindarinya.
Orwell terinspirasi kediktatoran era Stalin di Rusia dan Nazi di Jerman. Tentang manusia yang sangat munafik; tentang kewajiban terhadap Partai, di mana Partai tidak bisa dikalahkan dan Partai akan selalu ada dan akan selalu sama: membentuk oligarki. "Satu-satunya dasar yang kuat untuk oligarki adalah kolektivisme. Kekayaan dan privilese paling mudah dipertahankan bila sama-sama dimiliki. Siapa yang memegang kekuasaan tidaklah penting, asalkan struktur hierarkinya tetap sama", tulis Orwell.
Novel ini telah mempopulerkan istilah "Orwellian, Big Brother, Doublethink, Polisi Pikiran, Kejahatan Pikiran, Newspeak, 2+2= 5, dan Prol". Sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Orwellian contohnya kini sebagai istilah universal terkait kebijakan negara yang represif atau totaliter.
Pelajaran yang kuat sekaligus menakutkan dari 1984 adalah bahwa kendali penuh atas seluruh bangsa di bawah negara rezim totaliter sangatlah mungkin terjadi sekarang dan nanti, termasuk di Indonesia. Ini akan mengancam masa depan eksistensi manusia menuju kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan. 1984 merupakan refleksi dan peringatan bagi umat manusia membangun peradaban.
Orwell wafat pada 21 Januari 1950 di London, mewariskan mahakarya yang berpengaruh kuat hingga saat ini.
Komentar
Posting Komentar