Piala Eropa 2020, Gli Azzuri yang Dirindukan
Perdana Menteri Italia Giulio Andreotti atau beken disebut Don Giulio, pernah berujar bahwa di Italia, tak ada malaikat dan tak ada setan, yang ada hanya pendosa kecil. Jangan pernah mencari malaikat di Italia meskipun di sana banyak gereja. Berbuat salah, berlaku curang adalah soal biasa saja bagi orang Italia. Melakukan dosa kecil tidak membuat orang masuk neraka asalkan segera bertobat.
Sepak bola Italia mencerminkan dengan jelas ujaran Giulio. Sepak bola Italia selalu diwarnai rivalitas abadi, sarat tendensi, dan bahkan mafia sepak bola. Di sana sepak bola adalah metafora kehidupan, sebuah permainan yang harus dituntut menjadi pemenang apa pun caranya, habis perkara. Setiap pemain memainkan perannya dengan 'baik'.
Mereka dilatih bermain tenang, sabar, ulet seperti pecatur yang cermat membaca situasi. Ciri khas paling dikenal dari sepak bola Italia adalah kesederhanaan, yakni konservatif dalam bertahan. Pecinta sepak bola kemudian menyebut cattenacio.
Saya generasi milenial (kelahiran mulai 1980), tumbuh dari tayangan Liga Italia di TVRI dan RCTI mulai akhir tahun 1980-an. Lega Calcio liga terbaik di Eropa kala itu. Kumpulan pemain terhebat dan termahal bersaing keras di klub Juventus, AC Milan, dan Inter Milan.
Saya masih ingat AC Milan merajai Piala Champions; Juventus sukses di Piala UEFA; dan Inter (atau mungkin Parma) memenangkan Piala Winners. Banyak pakar yang bilang persaingan Serie-A jauh lebih sangar daripada persaingan di kompetisi Eropa.
Rivalitas klub sekota AC Milan dengan Inter Milan sudah terpolarisasi melampaui batas dari sekadar kompetisi Serie-A ke lintas persaingan antarnegara. Ketika Serie-A libur, kemudian turnamen seperti Euro dan Piala Dunia digelar, tifosi Milan hampir pasti memilih Italia dan Belanda.
Sedangkan Interisti menjagokan Italia dan Jerman. Tentu ada alasan, AC Milan diisi trio emas Belanda: Marco van Basten; Ruud Gullit; dan Frank Rijkaard. Sedangkan klub La Beneamata diperkuat tiga bintang dari Jerman: Juergen Klinsmann; Lothar Mattaheus; dan Andreas Brehme. Tiga menir lebih sukses di ajang klub, namun tiga orang Jerman lebih mengilap di turnamen antarnegara.
Dengan sendirinya kompetisi berkualitas akan menciptakan tim nasional yang tangguh. Gli Azzuri, julukan timnas Italia, selalu berhasil membentuk kesebelasan yang tangguh dan padu. Italia selalu ditempatkan di pot-1 sebagai wujud tim unggulan utama yang siap mengangkat trofi juara.
Sejarah menunjukkan betapa tim sepakbola Italia tak pernah putus melahirkan pesepakbola yang memiliki keahlian yang berbeda dengan karakter pesepakbola negara lain. Roberto Baggio, Franco Baresi, Paolo Maldini, Alessandro Del Piero, Fabio Cannavaro, Francesco Totti, dan Andrea Pirlo; adalah legenda layaknya master atau bisa juga disebut seniman lapangan hijau. Mereka kalau bertanding punya visi kuat, sangat tenang, cerdik, dan matang.
Italia adalah negara dengan tradisi panjang, pertandingan-pertandingan yang pernah dijalani Italia telah melegenda yang sarat klimaks, kontroversial, bahkan skandal di ajang empat tahunan. Bagian yang membentuk wajah sepak bola Eropa dan dunia.
Generasi sebelum kita selalu mengenang dahsyatnya laga Italia vs Jerman (Barat) pada semifinal Piala Dunia 1970, atau final Piala Dunia 1982 di mana Italia kembali mengempaskan Jerman dengan benteng pertahanan seperti karang yang dikomandoi Claudio Gentile.
Publik pun masih ingat ketika Italia berstatus tuan rumah dan favorit utama pada 1990, secara pedih disingkirkan Argentina yang dimotori mega-bintang Diego Maradona pada laga semifinal di kota Naples. Empat tahun kemudian di Piala Dunia AS 1994, sepakan penalti gagal Roberto Baggio seakan menghapus semua prestasi yang sudah ditorehkan 'si kuncir kuda' dari Vicenza.
Laga perdelapan final melawan Korsel pada Piala Dunia 2002 juga sarat kontroversial karena jauh dari fair play dan masih didebat. Paolo Maldini cs yang dipermalukan anak bawang Korsel, merasa dikerjai wasit Byron Moreno. Belum selesai, Ahn Jung Hwan menjadi musuh besar publik Italia, dan sempat tidak gajian dari klub Perugia.
Terakhir barangkali ada pertandingan terbaik Piala Dunia 2006 antara tuan rumah Jerman vs Italia di babak semifinal. Lagi-lagi Italia mengalahkan Jerman lewat pertandingan menegangkan dan menggetarkan. Di tanah Bavaria ini Cannavaro cs meniti jalan pedang yang mengasilkan trofi Piala Dunia ke-4.
Negeri Pizza ini juga tempat lahirnya pelatih-pelatih kelas wahid. Angelo Vucini; Arrigo Sacci; Cesare Maldini; Dino Zoff; Giovani Trappatoni; Marcelo Lippi; Cesare Prandelli; Antonio Conte, dan saat ini Roberto Mancini, merupakan deretan allenatore Azzuri di ajang Piala Dunia sejak 1990, dengan berbagai hasil. Puncaknya terjadi di Jerman 2006, Lippi membawa Italia meraih gelar ke-4. Justru saat itu sepak bola Italia dilanda skandal korupsi dan pengaturan hasil pertandingan.
Tiga tahun silam di bawah pelatih Gian Piero Ventura, Italia mengalami tragedi, masa kegelapan, karena untuk pertama kali dalam waktu 60 tahun tak berhasil tampil pada Piala Dunia Russia 2018. Allenatore Roberto Mancini kemudian menukangi Gli Azzuri dan memulihkan kembali harkat sepak bola Italia.
Untuk pertama kali Mancini akan memimpin pasukannya berlaga di turnamen akbar, laga pembuka Piala Eropa 2020 yang harus tertunda setahun. Bertempat di stadion Olimpico, Roma, tim Italia menang telak 3-0 atas Turki. Mancini, kapten Giorgio Chiellini dan skuad biru kebanggaan mengusung semangat kebangkitan atau pencerahan.
Salam Euro.
Komentar
Posting Komentar