Gelar All England Pelepas Dahaga 30 Tahun
Saya ingat perkenalan dengan All England terjadi pada 1991. Ketika itu pagi-pagi sekali selepas sahur Ramadhan 1411 H, saya menerima koran Pedoman Rakyat dari loper bersepeda.
Koran lokal Makassar yang sudah lama tidak terbit tersebut memberitakan headline kemenangan Ardi B Wiranata dan Susi Susanti menjuarai tunggal putra dan tunggal putri All England. Lengkap dengan foto Ardi dan Susi mengangkat trofi ikonik All England.
Di final Ardi mengalahkan andalan Malyasia, Foo Kok Keong. Sedangkan Susi mengatasi Sarwendah Kusumawardanhi di All-Indonesian final. Bagi Susi itu trofi keduanya setelah juara pertama kali pada 1990, dan kemudian berhasil lagi pada 1993 dan 1994. Karir Susi memang sudah komplit.
Sedangkan bagi Ardi, itulah gelar All-England satu-satunya sepanjang karir. Namun satu gelar prestisius tersebut sudah cukup membuat namanya menjadi legenda di turnamen badminton paling klasik. Ardi pemain Indonesia keempat yang sukses, mengikuti jejak Tan Joe Hok pada 1958, Maestro Rudi Hartono, juara delapan kali, dan Liem Swie-King pemenang tiga kali. Yunior Ardi, Herianto Arbie bergabunng Indonesia Five-Club setelah merengkuh gelar dua tahun berurutan pada 1993 dan 1994.
All England selalu disebut kejuaraan dunia tak resmi, sangat prestise. Tak ada yang menandingi gengsi turnamen ini, termasuk Olimpiade, dan Kejuaraan Dunia sekalipun. Serupa dengan turnamen Grand Slam Wimbledon di Tenis. Ada ungkapan, jika belum juara All England, maka pemain tersebut dianggap belum jago, meskipun bisa meraih emas Olimpiade dan menyabet Juara Dunia.
All England adalah All England, tak bisa dibandingkan dengan turnamen lain. Saya yakin, dari Icuk Sugiarto juara dunia 1983; Joko Suprianto juara dunia 1993; Alan Budikusumah peraih emas Olimpiade Barcelona 1992; Hendrawan juara dunia 2001; Taufik Hidayat penyabet emas Olimpiade 2004 dan juara dunia 2005; pastilah merasakan kekecewaan mendalam karena hingga ujung karir tak pernah memenangkan All England.
Ya, dari puluhan bahkan ratusan pebulu tangis putra Indonesia yang sudah berkiprah di All England, kita hanya punya lima nama jagoan, dan itu belum bertambah dalam rentang waktu yang sangat panjang, 30 tahun.
Barulah pada All England 2024 saat perayaan 125 tahun turnamen, sejak pertama kali dilaksanakan pada 1899, akan dikenang menjadi momen membanggakan bagi Indonesia ketika Jonatan Christie dan Anthony Ginting berlaga di final tunggal putra. Menyamai final 1994 ketika Hari mengalahkan Ardy. Jonatan dan Anthony belum lahir kala itu.
Untuk pertama kalinya sejak 30 tahun, Indonesia "Zamrud Khatulistiwa" akan memiliki juara tunggal putra, nomor paling prestius. Seperti yang kita sudah saksikan Jonatan menjadi tunggal putra ke-6 yang menjuarai All England. Jonatan yang akrab disapa Jojo mengalahkan Anthony dua gim langsung dengan skor 21-15, 21-14.
Keberhasilan Indonesia bertambah lengkap ketika pasangan ganda putra Fajar Alfian/ Rian Ardianto sukses mempertahankan gelar juara seteleah menang atas pasangan Malaysia, Aaron Chia/ Soh Wooi Yik, juga dengan dua gim, 21-16, 21-16.
Prestasi mengagumkan Jonatan dan Anthony di Birmingham memuaskan dahaga panjang masyarakat Indonesia. Ini juga sekaligus menjadi momentum kebangkitan nomor tunggal putra berprestasi pada ajang besar selanjutnya, yang terdekat adalah Olimpiade Paris 2024 Juli nanti.
Kita semua bergembira dan berharap tidak lagi menunggu selama puluhan tahun menyaksikan pemain Indonesia kembali berjaya di puncak dunia.
Komentar
Posting Komentar