Menciptakan Ulang Identitas dan Mengejar Kenikmatan

Ariel Heryanto, Professor pada Australian National University, menulis buku menarik berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015). Hasil terjemahan Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture, yang diterbitkan di Singapura pada tahun 2014.

Fokus utama buku ini meneliti politik budaya kontemporer di Indonesia dengan fokus pada bagaimana budaya populer berperan dalam membentuk ulang dan mentransformasikan identitas sosial mereka di era pasca-Orde Baru, dengan menggunakan budaya layar: film, televisi, dan media sosial.

Menurut Ariel, orang Indonesia hidup dalam lingkungan yang berkiblat pada komunikasi lisan, lebih mudah menerima pesona gambar bergerak dan lebih tanggap secara kreatif terhadap apa yang ditawarkan oleh kamera video, ketimbang kata-kata tertulis atau program komputer pengolah kata (hlm. 134).

Ariel dengan asyik ini membawa kita ke suatu perjalanan visual sangat memikat, dengan lintas disiplin bidang yang cair, perspektif sejarah yang luas, mengaitkan hal-hal yang tidak terlihat menjadi nyata di depan kita.. Sebagai contoh, mengupas tuntas film Ayat-Ayat Cinta (2008) yang kontroversial, sehingga menarik banyak penonton ibu-ibu pengajian untuk pertama kali datang ke bioskop; atau penayangan The Killing of Act yang dituduh sebagai propaganda menghidupkan kembali peristiwa September 1965; juga tentang film dan pementasan yang melibatkan etnis Thionghoa yang selama ini terdiskriminasi.

Analis Ariel begitu tajam dan rinci dalam buku yang terdiri dari delapan bab masalah media dengan pertanyaan-pertanyaan teoritis yang lebih luas dalam kajian budaya kontemporer di tengah hegemoni kapitalisme global beserta segala kontradiksinya. Seperti yang kita pahami bahwa media saat ini merupakan salah satu lembaga paling berkuasa di Indonesia. Siapa yang mengendalikan media akan mengendalikan peprpolitikan nasional.

Dalam upaya mendefiniskan ulang identitas dan mengejar kenikmatan, terdapat derita, bencana, dan pilu. Ariel menyinggung banyak individu dan kelompok yang mengalami paradoks hiper-nasionalisme dan amnesia sejarah; diskriminasi terhadap etnis Tionghoa; pembunuhan massal 1965-1976, cengkeraman militer, pelanggaran HAM, korupsi yang merajalela, kelompok militan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan secara paradoks, justru menciptakan, mengingkari, dan memproduksi ulang perlawanan terhadap dirinya sendiri (186). Sepuluh tahun buku ini ditulis isu-isu tersebut semakin terbukti.

Walaupun fokus pada budaya Indonesia, buku ini juga berdimensi global dan keterlibatan transnasional yang ditulis di setiap bab. Setelah membaca kita semakin yakin tidak ada lagi budaya "asli" di Indonesia. Teknologi dan media sosial telah mendemokratisasi nyaris seluruh perdebatan publik hingga ke tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Sebagai bagian dari proses komunitas besar ini mengubah cara kita berpikir dan mengeskpresikan diri. 















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Enlightenment Now: Kehidupan Menjadi Lebih Baik

Kenangan di Prambanan Jazz

Jumbo: Dongeng Kesatria dari Kampung Seruni