Setelah Menonton Avatar The Way of Water

(Sumber: https://www.kompas.tv/article/287210/)

Sebelum libur sekolah berakhir, pada Kamis 5 Januari 2022 lalu, saya menunaikan janji mengajak anak-anak menonton Avatar The Way of Water, film paling dinantikan pada akhir tahun 2022.

Sejak pertama tayang di Indonesia pada 14 Desember 2022, rasanya sulit mendapatkan tiket dan waktu yang pas. Penonton membludak, seperti ingin berlomba menjadi yang pertama untuk membeli tiket yang dibanderol 50 ribu -100 ribu rupiah. 

Konon dari lima-enam teater, Avatar diputar di empat studio bioskop. Karena durasi yang lebih dari 3 jam, nyaris 200 menit, Avatar hanya empat kali diputar dalam satu hari di satu teater.

Dengan segala pertimbangan kami memilih menonton jam tayang pertama pada pukul 13.15 Wita. Teater 3 Studio XXI Mall Ratu Indah siang itu sudah ramai tapi sofa empuk bioskop belum terisi penuh.

The Way of Water adalah sekuel Avatar pada 2009 yang sangat sukses 13 tahun silam. Tetap digarap oleh sutradara James Cameron. Film ini diberitakan menghabiskan uang 350 juta dollar (setara 5,5 triliun rupiah) yang disebut sebagai film dengan biaya termahal yang pernah diproduksi.

The Way of Water kembali berkisah tentang keluarga Jake Sully yang menghadapi konflik dengan bangsa manusia yang serakah.

Jake Sully menikahi Neytiri, dan membangun keluarga sebagai makhluk bangsa Na'vi. Pasangan Sully dan Neytiri memiliki lima anak, masing-masing, Neteyam, Lo'ak, Tuk, Kiri, dan Spider. Khusus Kiri dan Spider adalah dua anak yang diadopsi. 

Terciptalah satu keluarga inti yang memiliki karakter-karakter yang unik, sangat berbeda, dan bertolak belakang satu sama lain. Namun mereka digambarkan keluarga yang hangat, dan tak terpisahkan, selalu bersama dalam keadaan apa pun. 

Keluarga Sully sebelumnya berhasil mengusir sekelompok manusia yang dinarasikan sebagai "Bangsa Langit' dari pandora. Kelompok manusia itu datang untung menjarah dan merusak alam komunitas Sully di hutan belantara dengan menambang mineral yang sangat mahal.

Setelah terusir pada sekuel pertama, "Bangsa Langit" kembali datang untuk menjajah, membalas dendam, dan bahkan ingin mengkolonisasi pandora dan menjadikannya ”Bumi baru” bagi umat manusia. Ya di film Avatar, bangsa manusialah sebagai antagonis yang menyerang keseimbangan mahkluk hidup serupa manusia imajinatif ciptaan Cameeron. 

Sadar bahaya besar mengancam klannya, keluarga Sully memutuskan hengkang dari dunia Pandora, mencari perlindungan yang aman yakni kehidupan di laut, wilayah kekuasaan bangsa Metkayina yang tubuhnya berwarna hijau dan memiliki sirip.

Mereka adalah bangsa yang hidup bersama dengan ratusan makluk laut yang sangat harmonis dengan keindahan dan keseimbangan alam yang menakjubkan.

Dari perkenalan yang menegangkan di bibir pantai, keluarga Sully bisa diterima Tonowari, kepala suku Metkayina. Mereka pun beradaptasi dari kehidupan hutan belantara ke kehidupan laut yang sangat eksotis.

Efek visual dan sinematografi yang sangat keren membuat kita penonton seperti diajak berpetualang dan menjelajahi fantasi mengagumkan pemandangan panorama bawah laut bersama hewan dan beragam tanaman yang ditampilkan nyaris sempurna.

Berkat bantuan teknologi yang dibuatnya, "Bangsa Langit" bisa menemukan jejak keluarga Sully dan memburu satu makhluk raksasa laut seperti paus bernama Tuluk, bagian tubuh hewan unik itu terdeteksi terkandung ramuan minyak yang dapat dijadikan komoditas yang super mahal. Peperangan sengit pun tak terhindarkan di Desa Laut Awa'atu yang indah.

****

The Way of Water sebenarnya film fiksi, "utopia". Bertema cinta keluarga dikemas dengan imajinasi, efek visual, dan teknologi super canggih, menjadikan Avatar sangat fun sebagai hiburan dan punya nilai-nilai kuat universal. 

Uswa, anak saya berusia 7 tahun, sesekali bertanya mengapa beberapa makhluk hidup angkasa dan laut menyerupai manusia bisa hidup demikian aneh di benaknya, yang tentunya saya pun tak bisa menjelaskan dengan meyakinkan kepadanya.

Selebihnya ia mengagumi adegagan-adegan yang menampilkan panorama laut indah yang barangkali bisa memenuhi hasrat imajinasinya, dan imajinasi kita semua yang ada sejak kanak-kanak.

The Way of Water jelas lebih dari sekadar film. Semacam budaya dan kampanye populer tepat waktu mengangkat isu-isu penting saat ini krisis lingkungan. Cameroon pasti ingin mengkritik kelompok manusia yang menciptakan dan menguasai teknologi tapi menggunakannya untuk merusak alam karena keserakahan yang mengerikan.

Ketika meninggalkan bioskop, seharusnya menggerakkan sikap kita dengan cara yang bijak, menghargai dan melindungi lautan yang sangat penting bagi kehidupan di Bumi. 

Seperti yang disampaikan Jake Sully "Laut ini rumah kami, ini benteng kami. Di sinilah kami membuat pendirian kami.” 

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja