Melintasi Jalanan Nostalgia di Jogja

arsip pribadi

Pagi-pagi sebelum matahari beranjak naik pada Selasa 9 Juli 2024, saya sudah keluar menyusuri jalanan-jalanan di Jogja yang dulunya saya akrabi dan sering datangi pada masa 1997 sampai dengan 2008. Saya mengajak Vera di boncengan motor honda Beat yang saya pinjam dari Memed. Semacam perjalanan tapak tilas, sentimental journey.

Kami meluncur menikmati suasana pagi kota yang segar. Malioboro masih sepi, melewati Jalan Trikora yang diapit Kantor Pos dan Gedung BNI di titik nol, menuju Alun-alun Utara Keraton, melihat masyarakat sedang joging dan lari di Alun-alun ini sambil saya menunjukkan lokasi bakmi Pak Pele di ujung sebelah timur yang batal kami datangi semalam.

Kemudian Jalan Ibu Ruswo yang menguhubungkan ke Jalan Brigjen Katamso Gondomanan. Di jalan ini dulu saya sering nonton di bioskop Widya, yang memutar film-film Hollywood dan Asia, walaupun berselisih empat bulan penayangan di bioskop-21, seingat saya harga tiketnya 1.500 rupiah. Kemudian berbelok kanan melintasi plengkung wijilan, salah satu gerbang keraton, kita masuk ke sentra masakan gudeg.

Perjalanan berlanjut ke Jalan Brigjen Katamso Gondomanan, kawasan perkantoran dan perdagangan. Pada 2002 saya membeli motor bebek Shogun di dealer Suzuki Medan Jaya Katamso dan rutin menservisnya di bengkel ini. Selain urusan motor, saya juga sesekali pergi menyaksikan pertunjukan di Taman Hiburan Rakyat (THR) yang terkenal disebut Purawisata, di Gondomanan. Chairul, teman kos, sampai hapal jadwal manggung pedangdut favoritnya di sini.

Dari Katamso ke arah selatan kita menemui Jalan Menteri Supeno, ini termasuk jalan yang sibuk karena seperti penghubung Jogja dengan Kabupaten Bantul. Juga jalan yang mengakses langsung ke terminal lama Umbul Harjo. Jalur Supeno ke Umbul Harjo ini juga saya akrabi, akses menuju rumah teman di Pakel Sorosutan, persis seberang Lapangan Sido Kabul yang berapa kali saya bermain sepak bola.

Belok kiri ke arah utara, melintasi Jalan Taman Siswa. Siapa tak kenal ruas jalan ini di Jogja? Jalan ini sering dilafal "Tamsis". Saya pernah ikut bimbingan belajar di Neutron yang kantor pusatnya di tengah Tamsis. Di seberang Neutron terletak jalan gang perkampungan Kelurahan Joyonegaran Mergangsan. Di sini saya betah nongkrong dengan teman-teman penduduk setempat. Saya merasa diterima dengan hangat di Joyonegaran karena diajak Prio, teman kos, dulunya lama tinggal di sini, Prio mengenal hampir semua warga Joyonegaran mulai dai anak-anak hingga orang tua lanjut usia.

Kemudian kita menemui Jalan Kusumanegara, ruas jalan lebar dan panjang. Saya menengok lagi kantor radio Geronimo di Jalan Gayam, Baciro, yang selalu saya dengarkan siarannya yang asyik. Tidak jauh dari Geronimo kita menuju Stadion Mandala Krida yang sudah keren direnovasi akibat gempa bumi 2006 di Semaki, kemudian Gor Among Rogo di sebelah tenggara Mandala Krida.

Saya sering menyambangi dua venue tersebut untuk menyaksikan pertandingan kandang PSS Sleman atau PSIM Yogyakarta di Liga Indonesia. Sedangkan di Among Rogo pengalaman nonton badminton IBF, basket Kobatama dan selanjutnya IBL, dan klub Yogya Yuso di turnamen Livoli yang kemudian saat ini Proliga.

Tak jauh dari Mandala Krida, kosan saya berada di Jalan Glagah Sari tepatnya Gang Wara-Wari, saya sempatkan singgah di gerbang dan di depan kos yang kini berwarna krem, dulunya merah jambu. Gang ini menghubungkan dengan Jalan Dr. Soepomo Janturan tempat Gudeg Pawon legendaris berjualan. Saya pertama kali mencoba masakan khas ini pada 1998. Masa itu Pawon baru buka pukul 24.00 sd pukul 02-03 dinihari. Harga termurahnya nasi gudeg telor seharga 1.500 rupiah. Sedangkan paling mahal nasi gudeg ayam dada dibanderol 5.000 rupiah.

arsip pribadi

arsip pribadi

Setelah menengok kosan, perjalanan berlanjut ke Kota Gede, kawasan kota tua Jogja. Rutenya Jalan Glagah Sari, Veteran, Ngeksigondo, dan Perintis Kemerdekaan. Gerbang Kota Gede adalah Jalan Kemasan Purbayan yang banyak berdiri toko kerajinan perak terkenal. Jika kita berjalan hingga ujung, kita menemukan pertigaan: Jalan Karanglo menuju Wonosari Gunung Kidul- Pasar Legi Kotagede dan Makam Raja Mataram- dan Jalan Mondorakan ke arah barat menuju kota.

Saya kemudian teringat berapa kali mengirim surat dan menelpon di wartel di kantor pos ini, setelah itu menyantap nasi rames langgganan di warung seberang kantor pos. Menikmati suasana keramaian Pasar Legi Kotagede terutama saat hari pasaran legi adalah pengalaman luar biasa berkesan. Pasar Legi Kotagede menjadi tempat nostalgia bagi penggemar jajanan tradisional yang mulai langka.

Berjarak 400 meter ke arah barat Jalan Mondorakan No. 51, terletak SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta, sekolah saya dari 1997 sampai lulus pada 1999. Saya pun menyempatkan mengambil foto di depan gerbang Mupat (nama sebutan sekolah) yang dulu belum sebagus saat ini. Senang rasanya bisa datang kembali ke almamater tercinta. Waktu sekolah di Mupat, saya tinggal di Kos Prenggan milik ibu Sastro yang lembut dan baik hatinya.

Setelah puas menyusuri jalan-jalan nostalgia, kami balik ke hotel seraya tetap berusaha melintasi rute klasik versi saya: Jalan Mondorakan, Tegal Gendu, Jalan Pramuka, Jalan Tegal Turi, Tri Tunggal Wirosaban, Parangtritis, Sisingamagaraja, dan menengok suasana Jalan Prawirotaman pagi hari yang kemudian membayangkan keriuhan malam di kampung turis ini.

Suatu pagi pada Selasa 9 Juli 2024 yang menyenangkan.

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja