Suatu Pagi di Pasar Ngasem

arsip pribadi

Mengakhiri perjalanan Selasa pagi itu 9 Juli 2024, Vera dan saya memilih menikmati sarapan di Pasar Ngasem Jogja.

Pasar Ngasem berdiri pada awal abad ke-19 persisnya pada 1809. Lokasinya sangat strategis, terletak di Kelurahan Patehan, Kecamatan Keraton, Yogyakarta. Luas kawasan pasar ini 6.136 meter persegi, hanya 400 meter sebelah tenggara Keraton.

Konon kawasan Pasar Ngasem dulunya dijadikan tempat melihat keindahan Keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengku Buwono II dari luar benteng. Karakter unik dan artistik Pasar Ngasem juga membuat banyak seniman ingin mengabadikan keindahannya. Sketsa dan lukisan Pasar Ngasem dari seniman sering saya lihat di pameran kesenian.

Awalnya Ngasem merupakan pasar burung terbesar di Jogja. Namun pada 2010 direvitalisasi dengan memindahkan pedagang burung ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias (PASTY) di Dongkelan, Bantul, untuk menjaga keberadaan pariwisata Tamansari yang berbatasan langsung dengan pasar. Tamansari adalah istana air tempat pemandian dan peristirahatan Sultan dan prajuritnya.

Inilah wajah baru Pasar Ngasem. Selain menjual kebutuhan pokok sehari-hari untuk dimasak di rumah, juga terdapat sejumlah warung makan yang berada di sebelah timur menjual aneka makanan terutama masakan Jawa mulai pagi hingga siang hari. Ketika orang tiba, juru parkir akan berseru: "Sebelah barat pasar, sebelah timur warung", memandu pengunjung, terutama yang baru pertama kali datang, termasuk Vera dengan saya.

Pagi yang cerah itu berbagai orang latar belakang berkunjung ke Pasar Ngasem. Dari remaja, dewasa, paruh baya, lansia, hingga abdi dalem yang masih mengenakan busana pranakan keraton. Juga puluhan bule terlihat menyambangi dan menikmati suasana tradisional Ngasem.

Ada sekitar delapan hingga sepuluh warung yang menjajakan aneka jajanan dan masakan traidisional Jawa. Warung Bu Sirep dan warung Yu Ngademi paling luas tempatnya.

Jajanan tradisional yang mulai langka masih ditemukan di Ngasem, seperti Jadah, wajik, jenang, carabikang, wingko, bakpia, terang bulan mini, dan tentu saja apem sang ikon dan primadona Pasar Ngasem. Vera memilih membeli beberapa dus wingko di sini untuk oleh-oleh ke Makassar. Ia sabar menunggu antrean sambil menyaksikan langsung wingko itu dibikin.

Untuk sarapan berat tersedia bubur, nasi brongkos dengan aneka sayuran seperti labu, kangkung, lodeh, hingga pare. Kemudian banyak pilihan lauk, mulai ikan goreng, ikan bakar, ikan kuah, tuna pepes, lele, ayam goreng, telur dadar, telur rebus, tempe bacem, tempe garit. Lauk ini jual mulai dari 2.000 rupiah hingga 7.500 rupiah. Untuk kelompok minuman tersedia es dawet, ronde, wedang asem, sere jahe, dan yang lain.

Setelah memilih makanan, kita bisa menyantapnya di meja dengan bangku kayu sederhana yang berdempetan dengan meja-meja masakan dihidangkan. Jika kita tak mendapatkan kursi, disediakan ruang serupa pendopo di area belakang yang cukup luas dengan makan gaya lesehan.

Setelah berkeliling menyusuri tiap sudut pasar melihat menu yang ingin dimakan, pilihan jatuh pada Soto Pak Soleh, yang berada di bagian depan. Selain dua porsi soto, dipesan juga tempe goreng dan tahu isi garing dan dilengkapi dengan dua minuman teh panas. Menunya memang sederhana tapi suasana tradisional yang dirasakan benar-benar menyenangkan untuk dinikmati.

Ketika mangkok soto dan gelas teh ludes, saya membayar menggunakan aplikasi Qris, 49.000 rupiah saja. Senang sekali akhirnya bisa sarapan di Pasar Ngasem.












Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja