Perjalanan Singkat ke Manado-Tomohon-Tondano

Pada awal September lalu, saya bersama rombongan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNM (FISH) berkesempatan berkunjung ke Manado, Sulawesi Utara, untuk menghadiri International Joint Confrence on Science and Technology (IJCST) yang diselengakaran di kampus Universitas Negeri Manado (Unima), karena FISH Unima adalah host IJCST 2023.

Ini kunjungan pertama saya ke provinsi Sulawesi Utara, yang kondang disebut dengan Bumi Kawanua, jadi saya ingin menuliskan perngalaman perjalanan singkat yang berkesan di forum ini.

Rombongan kami berjumlah 13 orang, berangkat melalui penerbangan pagi pukul 9.00 wita dari Hasanuddin Mandai. Nuansa dan atmosfer Manado benar berbeda dari kota-kota lain, langsung terasa ketika kita turun dari pesawat boeing Citilink di Bandara Sam Ratulangi, setelah menempuh perjalanan hampir dua jam.

Meskipun termasuk internasional airport dengan fasilitas umum modern, Sam Ratulangi tidak sesibuk Bandara Sultan Hasanuddin, misalnya. Barangkali karena posisi Manado yang jauh dari lalu lintas penerbangan domestik yang berpusat di Jakarta, Surabaya, dan Bali.

Rombongan kami dijemput panitia IJCST dengan dua unit armada Toyota Hiace. Saya memilih duduk di depan supaya bisa mudah bertanya banyak hal pada driver yang mengantar kami selama 3 hari berkegiatan di Sulut.

Terletak di Teluk Manado dan dikelilingi daerah pegunungan dan pesisir pantai, Manado dan Sulut pada umumnya dihuni berbagai kalangan etnis dan agama, dengan mayoritas kristen protestan. Tapi mereka tetap hidup rukun dan saling bertoleransi. Sesuai semboyan masyarakat Manado yang banyak dipampang di jalan-jalan kota: "Torang samua basudara" yang artinya kita semua bersaudara.

Tujuan pertama kami adalah makan siang, mengingat sebagian dari kami banyak kelaparan akibat tidak sempat sarapan karena tergesa-gesa ke bandara pada paginya. Untung saya sempatkan sarapan tuna puff di gerai Starbucks menjelang boarding, dan memboyong americano cup ke pesawat.

Kami diantar ke Rumah Makan Sari Laut daerah Pantai Singkil, tak jauh dari pusat kota. Konon ini kuliner favorit pagi warga setempat maupun pelancong. Tempatnya cukup luas dengan konsep dapur terbuka, puluhan jenis ikan dan aneka seafood segar dipajang di depan dapur sehingga pelanggan dapat leluasa memilih. Tak begitu lama menunggu, semua pesanan tersaji di dua meja, siap disantap bersama. Racikan sambel rica-rica Manado ternyata lebih pedas daripada yang saya kira.

Setelah selesai urusan makan siang, sebelum menuju penginapan kami di Tomohon yang berjarak 30 kilo meter dengan rute menanjak dan berkelok, kami memilih melanjutkan berkeliling menimati suasana kota Manado pada siang hari yang terik.

Kami sempat melintasi Jembatan Megawati yang juga merupakan bangunan ikonik Manado. Jembatan ini mulai bisa dimanfatkan pada 2015 setelah 15 tahun dibangun mulai pada masa kepresidenan Megawati Soekanoputri. Panjangnya 677 meter dan lebar 10 meter.  

Jarang ada jembatan di tengah kota, sehingga "Megawati" punya daya tarik kuat, pemandangan latar belakangnya adalah Gunung Klabat yang indah. Terletak di Jalan Hasanuddin, tepat berada di atas Laut Manado untuk akses ke Taman Bunaken. Dari kejauhan saya dapat melihat beberapa kapal besar sedang berlayar.

Warna kuning yang mendominasi jembatan sempat menjadi perdebatan kami di mobil mengingat merah darah adalah warna sakral PDIP, partai penguasa saat ini pimpinan Megawati. 

****

Setelah melewati kota Manado, kami singgah di Masjid Imam Bonjol di Pineleng, Minahasa, untuk menunaikan salat jamak. Masjid sederhana dan berada di sekitar pemukiman penduduk mayoritas kristen ini dibangun pada 1974 untuk menghormati pahlawan nasional dari Sumatera Barat, Tuanku Imam Bonjol, yang wafat dalam pengasingannya di Minahasa pada 8 November 1854. Sayang kami tak sempat berkunjung ke makam Tuanku Imam Bonjol di Desa Lotta, Pineleng, tak begitu jauh dari masjid. 

Selanjutnya yang menarik dari perjalanan adalah melewati Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP), yang lahannya sangat luas dan rindang di kaki Bukit Bantik. Sekolah bagi calon pastor, uskup, dan guru katolik. Mengingatkan saya pada suasana Magelang dan sekitarnya di kaki Gunung Merapi, di mana banyak berdiri seminari-seminari seperti STFSP. 

Perjalanan kami berakhir di Grand Master Resort, penginapan dengan nuansa alam Tomohon dengan bangunan arsitektur modern tema permainan catur. Tepat berada di kaki Gunung Lokon, dengan hamparan sawah di sekelilingnya, membuat suasana sejuk meskipun di siang hari.

Setelah istirahat sejenak, sembahyang magrib, dan makan malam nasi Padang kotak, kami berempat melanjutkan jalan-jalan menikmati kota Tomohon yang berbukit dan bunga-bunganya yang cantik, tak lupa mampir ngopi di Singgah Sayang Coffe House, untuk mencicipi aroma kopi arabica khas setempat, berdiskusi ringan menghabiskan satu malam di Tomohon.

Salam hangat dari Bumi Kawanua.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja