Memoar Ayah Lebih dari Buku

arsip pribadi

Saya menuliskan review buku ini dengan perasaan sangat bersyukur bersamaan dengan rasa bangga kepada ayah saya, Prof. Dr. Tahir Kasnawi, SU, yang baru saja menerbitkan memoar yang berjudul Sepenuh Hati di Jalur Pendidikan.

Ayah menulis otobiografi dengan sangat baik, jujur, dan otentik, tentang perjalanan dan perjuangan panjang kehidupannya yang utuh dan bermakna. Ia menuliskan lembar-lembar kisah menyampaikan nilai-nilai inspirasi, keyakinan meniti jalan meraih cita-cita, dan kehangatan kekeluargaan.

Ayah menyusun memoarnya 346 halaman dengan tiga bagian besar yang terdiri beberapa bab. Kesatu, Menapak jenjang-jenjang pendidikan formal, dari sekolah rakyat pada awal kemerdekaan di pedalaman terpencil Kalimantan dan di desa Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan, hingga merengkuh gelar akademik formal tertinggi Philosophy Doctor (Ph.D) bidang Sosiologi Kependudukan di Flinders University, Adelaide, Australia.

Bagian kedua, Meniti karir panjang, terutama pengabdian di Universitas Hasanuddin, mulai sebagai Sekretaris KKN pada 1979, menjabat dekan, mencapai gelar profesor pada 2001, hingga pensiun sebagai Ketua Senat Akademik pada 1 Oktober 2018. 

Kemudian bagian ketiga adalah Khidmat menumbuhkan semangat kepedulian sosial, yang merangkum singkat aktivitas ayah di organisasi-organisasi kemasyarakatan dan keagaaman, dari pengurus Masjid Nurul Kautsar Balang Boddong yang berada persis di utara rumah kami, hingga aktif di Forum Kerukunan Umar Beragama (FKUB) Sulsel. 

Ketiga bagian buku tersebut kemudian dilengkapi profil keluarga dan kesan di mata dan hati para sahabat ayah dari ragam kalangan profesi.

Saya paling tertarik pada babak awal dan proses ayah meniti jalan mewujudkan cita-citanya hingga bergelar doktor pada 28 Agustus 1990. Sebab selama ini saya hanya mendengar sepotong-sepotong kisah ayah pada fase itu. 

Saya adalah anak kedua dari enam bersaudara, lahir pada Februari 1981. Saat berusia dua tahun ayah melanjutkan kuliah di Pascasarjana UGM Yogya, kemudian diwisuda pada 1985 dengan mendapatkan gelar Sarjana Utama (SU). Itu gelar untuk semua program magister di UGM pada masa itu, hingga akhirnya pada akhir 1980-an tidak digunakan lagi, dan diganti gelar yang diawali dengan huruf "M' singkatan dari Magister.

Di Jogja pula ayah membeli mobil bekas Toyota Van, yang ia gunakan berjalan-jalan sekitar pulau Jawa mengisi libur kuliah. Setelah studi selesai, ayah memboyong mobil tersebut ke Makassar dengan plat AB, saya masih ingat betul dengan mobil klasik berwarna silver tersebut.

Dari buku ayah ini pula, beberapa hal baru saya ketahui. Sebagai contoh, ayah pernah berjualan buku di pasar malam; terpilih sebagai dosen teladan pada 1992 saat Fuad Hasan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan. Mengapa ayah sangat suka pulang kampung ke Rappang, dan mengapa ayah mengidolakan guru bangsa HOS Tjokroaminoto.

Membaca memoar ayah yang kini menjelang 75 tahun, seperti menonton rangkaian cerita film dokumenter kehidupan yang berliku. Sejak era film hitam putih di masa kecilnya yang lampau hingga era digital saat ini yang coba ia pahami dengan bijaksana, semacam dokumentasi yang hidup, seperti yang ditulis Ramli dalam pengantar buku.

Ayah mulai menulis buku ini sejak tahun 2018, bertepatan masa pensiunnya. Memoar ayah lebih dari buku, menjadi rekam jejak, sebagai sumber informasi utama bagi keluarga dan keturunan generasi-generasi ayah selanjutnya. Bisa juga menjadi warisan sangat bernilai bagi kami mengabdikan sebuah cerita ayah yang membahagiakan.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja