Pengukuhan Guru Besar: Paradoks Urbanisasi di Negara Berkembang


Saat ayah saya berulang tahun pada Minggu 13 September 2020 lalu, saya mengingat satu hari besar dan berbahagia dalam hidup ayah dan keluarga kami yang patut disyukuri.

Pada Sabtu, 1 April 2006, sudah lebih dari 14 tahun silam, hari bahagia tersebut, ayah berdiri dan tampil di mimbar akademik yang terhormat dan membanggakan guna menyampaikan Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Kependudukan pada Fakuktas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Upacara Rapat Senat Senat Terbuka pengukuhan dipimpin oleh Rektor Universitas Hasanuddin Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp. BO, yang saat itu Rektor baru menjabat dan upacara pengukuhan Guru Besar ayah adalah yang pertama kali dalam masa bakti kepemimpinan Prof. Idrus.

Di depan Senat Universitas, keluarga, kolega, dan para tamu undangan, ayah menyampaikan orasi ilmiah dengan judul “Paradoks Urbanisasi dan Tantangan Pembangunan Kota di Negara Sedang Berkembang”.

****

Urbanisasi sebagai suatu proses mobilitas penduduk telah berlangsung lama, sejalan dengan peradaban manusia.

Kota dipandang sebagai bentuk terbaik dari kehidupan sosial, serta merupakan lokasi yang paling tepat untuk masyarakat ideal. Kehidupan perkotaaan dapat dipandang sebagai bentuk kehidupan modern yang menjadi arah pembangunan setiap bangsa.

Oleh karena itu tingkat urbanisme suatu bangsa sering dijadikan pencerminan dari tingkat modernitas bangsa tersebut, dan sekaligus merupakan indikator tingkat kemajuan pembangunan mereka.

Pertumbuhan penduduk kota yang cepat tidak lepas dari pertumbuhan industri yang berpusat di kota-kota, dan selalu membutuhkan tenaga kerja baru dari wilayah pedesaan.

Ada perbedaan urbanisasi yang terjadi antara negara maju industri dengan urbanisasi yang terjadi di negara yang sedang berkembang.

Urbanisasi negara industri maju telah berlangsung lama, sedangkan urbanisasi di negara berkembang baru terjadi sekitar pertengahan abad ke-20 atau paska Perang Dunia ke-2, di mana banyak negara-negara telah menyatakan merdeka dari kolonialisme.

Urbanisasi negara industri maju lebih disebabkan oleh karena ditarik kebutuhan pembangunan industri di kota (pull factor), sedangkan urbanisasi di negara sedang berkembang disebabkan dominan karena dorongan yang keras (push factor), yang justru akan makin membebani kota itu sendiri.

Indonesia termasuk yang mengalami arus urbanisasi yang deras, sejak 1970-an. Kota-kota besar di Indonesia, terutama ibukota provinsi utama seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, dan Makassar mengalami laju pertumbuhan penduduk rata-rata di atas 3 persen per tahun (Data pada 2006).

Lebih spektakuler lagi kota Batam, sebelum ditetapkan sebagai Badan Otorita pada 1973, hanya merupakan sebuah desa yang berpenghuni sekitar 6.000 jiwa yang semuanya penduduk etnis Melayu, pada tahun 2006 telah tumbuh menjadi kota raya dengan penduduk sekitar 800.000 ribu jiwa, atau bertambah lebih 120 kali lipat selama 34 tahun.

Sudah jelas, urbanisasi telah memberikan manfaat sosial ekonomi yang nyata, mendorong tumbuhnya kehidupan masyarakat modern yang lebih terbuka, rasional, dan demokratis.

Aspek positif urbanisasi dapat dilihat dalam hal-hal sebagi berikut:

  1. Meningkatkan taraf hidup ekonomi keluarga. Banyak studi telah menyimpulkan bahwa penghasilan rata-rata pekerja paling rendah pun di kota masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penghasilan pekerja berstatus rendah di pedesaan;
  2. Mendorong dinamika dan pertumbuhan ekonomi perkotaan, termasuk pemasukan pemerintah kota. Beragamnya aktifitas masyarakat yang dipicu semangat persaingan tinggi tentu berkontribusi nyata terhadap kemajuan kota;
  3. Mendorong terciptanya kehidupan sosial politik dan budaya yang lebih demokratis dan terbuka.

Namun di sisi lain secara bersamaan, urbanisasi telah menciptakan pula berbagai aspek kehidupan masyarakat yang berdimensi negatif, sehingga menurunkan kualitas hidup penduduk itu sendiri. Inilah paradoks urbanisasi.

Sisi negatif urbanisasi dapat dilihat secara jelas dalam empat aspek kebutuhan utama kehidupan masyarakat kota, sebagai berikut:

  1. Kebutuhan pemukiman. Rumah dan pemukiman yang layak sulit terpenuhi, sehingga tercipta pemukiman buruk di kota, seperti bantaran sungai, kolong jembatan, sisi rel kereta api, dan sebagainya.
  2. Kebutuhan infrastruktur. Urbanisasi membutuhkan infrastruktur yang lebih besar dan memadai, seperti air bersih, aliran listrik, maupun fasilitas kesehatan dan pendidikan. Dan terbukti belum mampu diselesaikan permasalahan kronis ini.
  3. Kebutuhan pelayanan publik buruk. Urbanisasi melampaui kemampuan penyediaan pelayanan dengan keterbatas dana, sarana dan prasarana, maupun sumber daya manusia. Urbanisasi telah melampaui kemampuan sistem perkotaan untuk menyambutnya dan memberikan peluang dan pelayanan yang memadai. Akhirnya sering menimbulkan praktik pungli dan suap dalam pelayanan publik.
  4. Kebutuhan lapangan kerja yang terbatas. Urbanisasi berkontribusi berkembang pesatnya kegiatan ekonomi informal, penambahan pengangguran di perkotaan.

Pertanyaan akademik muncul. Apa yang harus dilakukan? Kebijakan apa yang harus diprioritaskan untuk membangun kota menjadi pusat peradaban masyarakat modern yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan?

Persoalan urbanisasi jelas membutuhkan kebijakan serta manajemen pembangunan dan pemerintahan yang tidak sederhana, dan sumber-sumber daya yang tidak kecil.

Dalam pidatonya, ayah merekomendasi tiga kebijakan strategi pemimpin pemerintah kota yang patut diprioritaskan, yaitu:

  1. Kebijakan pembangunan wilayah yang efektif untuk memperkecil disparitas penghasilan penduduk kota dan desa;
  2. Penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah kota;
  3. Peningkatan taraf hidup masyarakat miskin, kebijakan pembangunan sosial ekonomi yang berpihak pada masyarakat miskin.

Pada bagian penutup orasi menyimpulkan bahwa urbanisasi menghadirkan fenomena yang paradoksial. Kebijakan pembangunan wilayah yang mampu mempersempit kesenjangan taraf hidup masyarakat kota dengan masyarakat desa, diyakini dapat mengendalikan arus urbanisasi desa ke kota-kota. 

****

Selesai membacakan orasi ilmiahnya, dengan perasaan penuh haru, ayah secara resmi dikukuhkan sebagai Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU, Guru Besar ke-134 Universitas Hasanuddin, kampus yang berdiri sejak 1956.

Ayah dan keluarga besar kami menyampaikan rasa syukur dan puji tak terhingga kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja