KPK Adalah Kita



Isu korupsi di negara kita selalu menjadi persoalan menarik dan selalu menimbulkan pro dan kontra dari waktu ke waktu. Polemik revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terus bergulir. Penolakan yang keras dari masyarakat luas tidak menghentikan revisi UU KPK oleh DPR. Padahal saat ini yang diperlukan KPK bukan revisi terhadap UU KPK, namun jauh lebih penting untuk direvisi adalah UU Tipikor.

Revisi UU KPK berisi tentang lima hal krusial, yakni: Pegawai KPK akan menjadi ASN; Perekrutan penyelidik dan penyidik KPK harus berasal dari kepolisian; Pembentukan Dewan Pengawas oleh DPR; Aturan mengenai izin penyadapan; dan Kewenangan penerbitan SP3. Tidak ada yang baru, merupakan ide-ide lama yang terus dimunculkan kembali.

Revisi yang memuat pasal-pasal kontroversial, jelas mereduksi besar kewenangan penting yang menumpulkan KPK. Mengubah kewenangan lembaga KPK, sebagai bagian dari upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi. 

Bersamaan dengan revisi UU KPK, DPR telah memilih calon yang bermasalah dan meragukan integritasnya. Tak perlu menjadi pintar untuk paham, revisi UU KPK dan komposisi pimpinan terpilih akan melumpuhkan KPK. Pihak yang mengatakan revisi justru memperkuat KPK jelas melecehkan akal sehat masyarakat. Kita tak sebodoh itu.

Upaya revisi UU KPK telah berkali-kali digunakan untuk melumpuhkan kewenangan hingga mengganggu independensi KPK. Rencana revisi UU KPK tersebut diperkirakan memiliki muatan politik dan upaya untuk melakukan pelemahan pada kerja KPK yang saat ini tengah menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan anggota dewan.

Puncaknya, Presiden Jokowi tidak kuasa menghentikan upaya pelemahan KPK, Jokowi membiarkan berlanjut di Senayan, memantik kekecewaan besar. 

Sungguh memprihatinkan keputusan Jokowi menyetujui revisi UU KPK. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi KPK dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, Jokowi telah mengingkari janji politiknya pada Pilpres 2014 dan juga Pilpres 2019, bahwa akan memperkuat KPK dan akan menghadirkan negara yang kuat untuk pemberantasan korupsi. Janji tinggal janji, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang melumpuhkan KPK.

Sejarah telah mencatatnya. Sejak berkuasa pada 2014, beberapa peristiwa hukum menunjukkan perhatian Presiden Jokowi minim terhadap bidang penegakan hukum korupsi. Kita dapat menyoroti seperti kriminalisasi pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pada 2015; tidak serius membongkar dan menangkap pelaku biadab penyerangan terhadap penyidik andal KPK, Novel Baswedan, sejak 2017. Jokowi disebut lemah dan tersandera kartel politik oligarki. Buruknya peringkat Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) tahun 2018 menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih harus menjadi salah satu agenda utama.

Oce Madril, peneliti Pusat Kajian anti Korupsi (PUKaT) UGM, mempertegas dalam disertasinya di UGM pada 2018, yang berjudul "Politik Hukum Presiden dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan." Kesimpulan disertasi Oce sangat jelas bahwa asumsi konfigurasi kekuasaan presiden memengaruhi kebijakan yang dikeluarkannya, termasuk tentang tindak pidana korupsi. Kemudian Oce dengan yakin menilai presiden paling konsisten membuat kebijakan anti korupsi dan berusaha menegakkan hukumnya adalah Presiden Gus Dur. Presiden SBY juga bagus dalam prevention memerangi korupsi dan melindungi lembaga KPK.

Segala bentuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) sehingga penanganan dan penindakannya pun membutuhkan upaya yang luar biasa. 

Mengutip Edward Hiariej, bahwa terdapat 7 sifat kejahatan luar biasa, yakni: Dampak viktimasinya sangat luas dan multidimensi; bersifat transnasional; terorganisasi, dan didukung teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika; pidana pencucian uang; memerlukan pengaturan hukum acara khusus; memerlukan lembaga-lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan luas; dilandasi oleh konvensi internasional yang merupakan treaty based crimes; merupakan super maha per-se (sangat jahat dan tercela).

Indonesia harus memiliki pemimpin yang tegas terkait soal korupsi. Presiden merupakan panglima tertinggi yang memimpin pemberantasan korupsi. Dukungan politik dan komitmen politik yang kuat dari presiden adalah prasyarat penting untuk memastikan berjalannya agenda kebijakan anti-korupsi. 

Sesungguhnya persoalan korupsi berkaitan erat dengan tingkat peradaban suatu bangsa. Bangsa dengan peradaban yang lebih maju, jumlah kasus korupsinya semakin sedikit. Bangsa yang peradabannya maju dan rule of law-nya tegak, berbanding terbalik kasus korupsinya, korupsinya makin menipis.

Mari kita selamatkan KPK, karena KPK adalah Kita.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja