Indonesia Mengajar, yang Muda yang Menginspirasi


Program pendidikan hebat yang diluncurkan sekitar 10 tahun lalu.

Janji kemerdekaan yang tertuang dalam konstitusi negara kita salah satunya adalah mendidik setiap warga negara Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap orang Indonesia di manapun berada berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tanpa melihat latar belakang dan tempat tinggalnya. 

Mungkin inilah yang menjadi dasar pemikiran terbentuknya Gerakan Indonesia Mengajar (GIM). Aksi nyata ini diprakarsai oleh Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta dan Rektor Universitas Paramadina pada tahun 2011, yang memang sudah dikenal masyarakat luas sebagai pendidik visioner, yang selalu ingin melihat Indonesia maju dan lebih baik.

GIM merupakan sebuah gerakan non pemerintah yang menantang para sarjana berprestasi, untuk mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun. Dan akan secara konsisten dilaksanakan, demi kemajuan pendidikan dan menatap masa depan yang lebih cerah.

Anies cemas dan prihatin, bahwa fresh graduate saat ini cuma berorientasi dengan IPK tinggi, tetapi cara berpikirnya tidak terstruktur, cara bicaranya tidak sistematis. Para sarjana umumnya bertindak pragmatis: lulus, bekerja di kantoran, mendapatkan gaji untuk kemudian hidup dengan nyaman di kota.

Tantangan itu ternyata mendapat respon dari 1. 382 pelamar yang bertekad melakukan perbaikan pendidikan secara swadaya tanpa menggantungkan harapan pada pemerintah. Dari jumlah tersebut terpilih 51 orang. Semuanya merupakan sarjana berprestasi lulusan universitas-universitas terbaik di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Dengan modal ijazahnya itu, sebenarnya mereka bisa bekerja dan hidup nyaman dan sejahtera di kota. 

51 orang yang terpilih, tidak lantas dapat bekerja. Mereka harus mendapat pelatihan khusus selama dua bulan, dikarantina secara disiplin, untuk membiasakan diri hidup di tempat terpencil, yang tidak terdapat aliran listrik, tidak ada signal telepon, dan tidak ada jaringan internet. Selain itu mereka juga mendapat pelatihan survival di hutan dan rimba.

Untuk tahun pertama, daerah-daerah terpencil yang dipilih adalah Dusun Boroangin Malunda, Majene (Sulbar), desa di Bengkalis (Riau), desa Tulang Bawang Barat (Lampung), Paser (Kaltim), dan Halmahera Selatan (Maluku Utara).

Mereka semua berani melepaskan kehidupan nyaman di kota dengan gaji yang sangat memadai, untuk beralih dengan memilih menjadi guru di pelosok-pelosok dusun Indonesia selama setahun. Tujuannya untuk mengabdi kepada negeri tercinta dan ingin menyatu dengan rakyat tertinggal untuk mendapatkan haknya, pendidikan yang layak.

Sementara orang-orang kota sibuk berdebat tentang sistem pendidikan di televisi, di koran, tapi tidak dapat mengubah kenyataan bagaimana kondisi pendidikan di daerah terpencil di Tanah Air. Omong tanpa aksi, wacana tanpa substansi.

Ketika melepas 51 “pahlawan pendidikan”, seperti yang pernah diberitakan surat kabar Kompas, Anies membakar semangat anak-anak muda berhati mulia tersebut. “Izinkan anak-anak SD di pelosok itu mencintaimu, meraih inspirasi, dan berbinar menyaksikan kehadiranmu. Dan yang terpenting, Anda sebagai anak terbaik telah ikut, sekecil apapun, mendorong kemajuan, mengubah masa depan mereka menjadi lebih cerah….”

51 pengajar muda terpilih tersebut sungguh menginspirasi dan patut menjadi teladan. Apa yang mereka perbuat telah menjadi pengalaman batin yang tak ternilai harganya. Selamat untuk pahlawan-pahlawan muda. Tuhan tak pernah tidur melihat jasa kalian.

Mereka semuanya hebat. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja