Solusi Adil Perselisihan dengan Bank


Artikel ini saya buat karena merasa kecewa, kesal, bahkan sedikit emosi berkonflik dengan lembaga perbankan yang katanya terpercaya. Sekaligus sebagai pelajaran teman-teman untuk lebih berhati-hati menjalin kerja sama dengan lembaga bank yang secara psikologis dan ekonomi, kedudukannya sangat kuat dibandingkan dengan kita sebagai debitur yang lemah. Maka, biarkanlah saya mengisahkan di ruang ini.

Tempo hari kami sepakat dengan sebuah bank plat merah untuk melaksanakan perikatan perjanjian kredit guna memodali kami membangun usaha rumah kos. Tentu saja agunannya adalah sertifikat (SHM) atas tanah tersebut dijadikan Hak Tanggungan melalui BPN melalui Notaris yang ditunjuk bank bersangkutan.

Setelah pengecekan lapangan, SHM dinyatakan bersih, akhirnya dana cair dan kami langsung manfaatkan dana tersebut sesuai peruntukan. Kontrak kerja borongan tukang sudah diteken. Bahan material bangunan juga mulai masuk. 

Segalanya seperti berjalan sesuai rencana yang telah kami susun, sampai akhirnya rencana pembangunan terancam kandas, karena pihak bank memutus sepihak perikatan yang kami sepakati di depan notaris. Alasannya SHM yang dijadikan agunan itu ternyata dalam pemetaan pembukuan BPN kota Makassar mengalami tumpang tindih sebagian dengan SHM milik orang lain. Tentus saja kami terkejut dan kecewa.

Dalih BPN bahwa lokasi itu terkena imbas pemekaran wilayah kecamatan. Tentu tidak logis mengapa pemekaran wilayah yang bersifat administratif, mesti mengambil dan menyerobot hak kami semena-mena. 

Di lapangan kami sudah menguasai fisik tanah tersebut selama 30 tahun. Kami yang menanggung kewajiban atas tanah sekaligus yang mengambil manfaat. Tak pernah ada satu pihak pun yang mengklaim tanah itu. Meski begitu, BPN dengan alasan prosedur tak dapat memasang Hak Tanggungan.

Otomatis Bank dengan segala kebakuan dan keribetan syaratnya memutuskan perikatan secara sepihak. Dana kredit yang sudah masuk di rekening kami ditarik kembali oleh Bank, meski tidak utuh lagi, jumlah yang diblokir sekitar 80 persen. 20 persen dana sudah kami gunakan untuk tahap awal pembangunan.

Perselisihan tidak selesai dan malah makin meruncing. Alih-alih kami sebagi pihak yang tidak melakukan wanprestasi justru digiring memikul tanggung jawab akibat kesalahan Notaris dan Bank sendiri. 

Mengapa Notaris yang ditunjuk sepihak oleh Bank tergesa-gesa membuat akad perjanjian sebelum resmi ada Hak Tanggungan? Mengapa pula Bank mencairkan dana tersebut terburu-buru? Lalu apakah kami salah menggunakan sebagian dana itu ketika sudah cair dan sudah bermitra dengan pihak ketiga, keempat, dan seterusnya?

Bank menawarkan dua solusi yang sungguh menjerat kami. Pertama, menukarkan agunan SHM lain yang kami punya, dan kami nyatakan tidak ada pergantian sertifikat, karena memang tak ada lagi. 

Kedua, dana yang sudah kami pakai dialihkan menjadi kredit usaha (fiktif) di mana kami diwajibkan membayar kredit selama 5 tahun, tanpa bank memperhitungkan kemampuan membayar kami. Dari mana kami sanggup membayar kredit jika pembangunan rumah kos terhenti dan otomatis tak bisa disewakan. Bukankah bank dalam menyalurkan kredit pasti menghitung kemampuan membayar debitur?

Kami tak akan lari, akan tetap bertanggung jawab dengan pemakaian dana, tapi kami meminta kebijakan pimpinan bank untuk menyikapi situasi rumit ini, kami menawarkan dana itu menjadi hutang kami yang akan kami lunas secara bertahap dan tentu saja yang meringankan kami, tak bisa kami diberikan kredit baru yang mempunyai suku bunga yang lebih tinggi. Dan ternyata juga tak disetujui.

Sebagai debitur, kami dari awal selalu memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kredit tersebut. Kami juga ikut saja dengan Notaris yang ditunjuk oleh Bank. Intinya kami juga sudah siap dengan segala risiko jika kredit itu tidak disetujui. Namun ketika sudah disetujui dan dicairkan, tiba-tiba Notaris dan Bank yang melakukan wanprestasi, malah kami yang harus menanggung beban tanggung jawab.

Pengurus bank dan Notaris sendiri terkesan cari aman dan tidak mengakui ini kesalahan dan tidak pernah memohon maaf kepada kami sebagai debitur yang telah dirugikan.

Jika dalam satu minggu kami tak mendapatkan titik temu dan Bank bersikeras dengan aturan bakunya, kami sudah memikirkan penyelasaian lewat jalur hukum saja. 

Apakah ada teman-teman yang memiliki pengalaman kasus serupa sehingga bisa memberikan kami jalan keluar yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak. 

Sebelumnya kami mengucapkan banyak terima kasih.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja