Ayah


Saya tidak mungkin bisa mengingat secara runtut bagaimana ayah mengasuh saya sejak awal. Namun saya mencoba menembus ruang-ruang dan memori-memori yang mungkin masih menancap kuat di benak hingga kini.

Saya lahir pada Kamis malam pukul 21.45 Wita, pada 26 Februari 1981, di Rumah Sakit Bersalin Pertiwi, Ujung Pandang. Data catatan sipil tersebut saya tahu dari hasil membaca tulisan tangan ayah di album foto dengan cover matahari terbenam, yang di dalamnya disematkan puluhan foto saya sejak bayi hingga masa kanak-kanak. 

Barang itu merupakan album foto pribadi saya yang tidak pernah ayah berikan secara langsung. Kakak perempuan saya juga punya satu album yang serupa. Barangkali beginilah cara ayah memantau pertumbuhan kami.

Pada hari ulang tahun saya yang ke-5, ayah memberikan satu kado yang dia buat dari kota Jogja. Bingkisan itu berupa hiasan meja lengkap dengan foto kecil saya. Handycraft itu masih terpajang di rumah, meskipun tempatnya bukan lagi di ruang tamu. Bagi saya, esensi pemberian itu tidak pudar sedikit pun hingga ujung waktu, yakni ucapan selamat, doa, dan harapan ayah dan ibu kepada saya.

Ayah adalah pribadi yang penuh tanggung jawab. Ayah selalu memastikan kami semua mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Ketika ada di antara kami yang sakit, ayah dengan sabar selalu mengantar kami melakukan pemeriksaan ke dokter terbaik dari alumni kampus Unhas, almameter ayah berprofesi dosen.

Sekolah kami pun tak pernah luput dari pantauan ayah. Tak bisa saya lupakan ketika ayah mengantar saya pergi merantau sekolah di Jogja pada Juli 1997, 23 tahun silam. Ayah baru bisa tenang pulang meninggalkan Jogja, ketika ia sudah memastikan saya diterima di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta dan saya pun telah menetap di kos yang aman dan nyaman di kawasan Kota Gede.



Hari ini Minggu, 13 September 2020, ayah telah berumur 72 tahun. Semoga ayah selalu diberkahi kesehatan. Bahagia rasanya mengetahui setiap hari selepas sembahyang subuh, ayah masih rutin olahraga jogging mengitari rute-rute favoritnya. 

Kemudian berkah luar biasa pula menemuinya setiap pagi di teras rumah dengan ditemani penganan khas tradisional dari dapur Ibu, sambil beliau membaca koran, atau sudah menerima tamu yang kebanyakan mahasiswa bimbingannya. Setelah itu ia beranjak beraktifitas hingga petang yang kadang kala masih dilanjutkan waktu malam. 

Barangkali ayah tidak pernah sadar betapa kami sedikit cemas melihatnya bekerja sedemikian keras untuk kami. Dia telah memberikan segalanya yang mungkin bisa dilakukan oleh seorang ayah.

Setiap saya menatap dan mencium tangan ayah, pasti terkenang masa-masa saya diajak pergi menontonya bermain tennis; diboyong ayah bersilaturahmi keluarga besar ke tanah kelahirannya yang berjarak 200 kilometer dari rumah kami; diajak Ayah pergi menyantap Coto Makassar langganan; atau terkenang diajak sesekali ke ruang kerjanya selepas kami pulang sekolah. I remember that moments.

Saya sangat bersyukur memiliki ayah yang bersahaja, karena saya bersama saudara-saudara tumbuh dari asuhan dan didikan orang tua yang sungguh luar biasa.

Saya tidak akan mengatakan ayah adalah seorang sempurna, namun buat saya, ayah adalah sosok yang paling layak saya kagumi dengan segala kekurangannya sebagai manusia biasa. 

Ucapan dan tulisan ini jelas tidak sebanding dengan ayah dan ibu sudah berikan, namun paling tidak dapat memberikan sesuatu yang penuh makna. 

Selamat berulang tahun ayahanda. Kami semua mencintaimu selamanya.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja