Cerita Tentang Pekan Olahraga Nasional

Sumber Gambar: wikiwand.com


Jika anda penggemar olahraga, maka Anda tentu kecewa tapi dapat memahami Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-XX di Papua pada tahun 2020 ini harus ditunda ke tahun depan.

Buat saya, setiap kali PON digelar, waktu seperti terlipat, melempar memori saya pada tahun 1993. Ketika itu saya siswa Kelas-1 SMPN 6 Ujung Pandang (sekarang Makassar), kagum sekali pada guru olahraga kami yang mendapat kehormatan menjadi anggota kontingen provinsi Sulawesi Selatan pada PON XIII 1993 di Jakarta. 

Saya masih ingat penyulutan api PON 1993 di kaldron Stadion Gelora Bung Karno dilakukan dengan pukulan kok dari raket Susi Susanti, yang terinspirasi penyulutan api melalui anak panah di Olimpiade Barcelona 1992.

Singkat cerita, pulang dari PON dan kembali aktif ke sekolah, beliau selalu bersemangat membagi pengalaman hebat tersebut. Tak lupa rajin mengenakan jaket kontingen Sul-Sel berwarna hijau dan aneka atribut dan asesoris PON dari kontingen provinsi lain. 

Prestasi beliau tersebut (meski saya tidak tahu pak guru dulu berpartisipasi ke PON sebagai atlet, pelatih, atau ofisial, bahkan cabang olahraga apa?)- telah membuat saya terobsesi pada dunia olahraga prestasi, membayangkan kelak bisa mengikuti jejaknya mewakili Sulsel pada PON selanjutnya di cabor bulutangkis. Waktu itu atlet idola saya pebulutangkis Ardi Wiranata.

Waktu kemudian berjalan dan menjawab sendirinya bahwa impian masa kecil saya terempas. Jangankan ke PON, bertanding di tingkat PORDA pun tak pernah. Namun saya tetap selalu menggemari dan mengikuti perkembangan dunia olahraga.

Proyek PON

Tetapi sejujurnya kadar kecintaan saya pada PON memudar sejak penyelenggaraan PON ke-14 pada tahun 1996. Ketika itu pemerintah mengambil kebijakan untuk memajukan setahun pelaksanaan PON yang sebenarnya baru berlangsung pada 1997 dengan alasan politis berlangsungnya Pemilu.

Paling tidak ada dua alasan. Pertama aspek psikologis. Sejak penyelenggaraan PON ’96 waktunya berdekatan setelah ajang multi event internasional Olimpiade selesai musim panas pada Juli-Agustus. PON selalu digelar pada bulan September. 

Ketika saya masih dibuat kagum dengan aksi-aksi hebat dengan berbagai pemecahan rekor citius, altius, fortius atlet dari penjuru dunia di Olympic. Maka menonton PON setelah itu adalah ekspektasi yang rendah. 

Sekadar usul pribadi, lebih baik alurnya dibalik, pelaksanaan PON terlebih dulu bisa di bulan Februari atau Maret, kemudian atlet-atlet kita berangkat menuju olimpiade.

Kedua, ajang PON makin kehilangan makna dan jauh dari substansi sebagai momentum proyek pembinaan olahraga nasional jangka panjang untuk ajang yang lebih tinggi dan prestisius: SeaGames, Asian Games, dan berpuncak pada Olimpiade.

PON hanya dijadikan alat proyek jangka pendek, bahkan jalan pintas bagi banyak daerah untuk terlihat lebih unggul dari daerah lain. Tujuh kali pelaksanaan PON terakhir diwarnai dengan daerah-daerah kaya membajak atlet-atlet beprestasi daerah lain dengan iming-iming bonus ratusan juta, bahkan ditawari menjadi PNS setempat. Dengan begitu kompetisi sehat jauh dari harapan. 

Lalu kenapa pula PONharus mempertandingkan 44 cabang olahraga dengan sekitar 750 set medali. Beberapa cabang seperti billiar, catur, aeromodeling, dan bahkan balap motor, dan sebagainya dipaksa ikut menjadi ladang medali untuk memberi keuntungan bagi sejumlah daerah--biasanya tuan rumah. Sebagai bandingan ajang multi event seperti SEAG, AG, dan Olimpiade, hanya memasukkan tidak lebih dari 30 cabang olah raga dengan maksimal menyediakan 350 set medali.

****

Tentu saja ini menghambat berkembangnya prestasi olahraga negeri kita. Selama ini proses pembinaan olahraga kita lebih diwarnai corak potong kompas, sehingga tidak pernah memperlihatkan hasil yang konsisten. 

Oleh karena itu tak ada jalan lain, sistem pembinaan olah raga Indonesia memang harus ditata kembali, harus mempunyai sistem baku secara berkesinambungan, guna peningkatan prestasi olahraga internasional. Semoga.

Salam olahraga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja