Pilkada Makassar 2020 yang Unik
Pertarungan dimulai.
Empat calon pasangan Walikota/Wakil Walikota Makassar periode 2020-2025 telah resmi ditetapkan oleh KPU Makassar, pada Rabu 23 September 2020.
Mereka adalah sesuai dengan nomor urut di kertas suara:
- Moh. Ramdhan Pomanto-Fatmawati Rusdi, usungan Partai Nasdem dan Partai Gerindra, dengan jumlah 11 kursi;
- Munafri Arifuddin-Abd. Rahman Bando, diajukan koalisi Partai Demokrat, PPP, dan Perindo, dengan jumlah 13 kursi;
- Syamsu Rizal-Fadli Ananda, diusung PDIP, Hanura, dan PKB, dengan jumlah 10 kursi; dan
- Irman Yasin Limpo-Andi Zunnun Armin Nurdin Halid, yang usulkan gabungan Partai Golkar, PKS, dan PAN, dengan jumlah 15 kursi.
Bagaimana kita memahami dan menimbang-nimbang keempat pasangan calon ini? Apakah para calon yang diajukan sudah memenuhi ekspektasi masyarakat?
Masyarakat pemilih senantiasa diharapkan cerdas dan teliti untuk memilih pemimpin. Untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas, kita seharusnya memperhatikan dan mempelajari jejak rekam para calon, sehingga kita tidak kecewa di kemudian hari.
Filusf fenomenal Yuval Harari, menulis satu artikel pada New York Times, bahwa politik adalah seni praktis, bukan ilmu teoritis. Pemilihan politik bukanlah metode intrik menemukan kebenaran. Pemilihan merupakan metode untuk mencapai kompromi damai antara keinginan atau kepentingan yang berbeda dari orang yang berbeda. Jadi ketika suhu politik memanas, orang-orang di semua sisi harus merefleksikan apa sebenarnya pemilihan demokratis.
Pilkada Makassar ini unik, bahkan membingungkan bagi masyarakat Makassar sendiri. Selain unik, Pilkada Makassar termasuk pemilihan kepala daerah dengan ongkos sangat tinggi. Selain elektabilitas dan pengalaman politik, kemampuan finansial para calon semakin menjadi faktor determinan. Banyak yang sudah tahu, para calon “terpaksa” menyediakan dan mencari penyandang dana jumbo untuk bisa bertarung.
Para pemilih di Kota Makassar adalah pemilih yang sulit diukur dan sulit dinilai akurat oleh survei dan jajak pendapat professional sekali pun. Pada umumnya pemilih pragmatis, dan cenderung memilih calon yang menguntungkan mereka secara langsung. Meski begitu sentimen entitas agama, serta asal usul demografi, juga menjadi pertimbangan pemilih Makassar.
Pendekatan pragmatisme atau primordialisme tidak cukup, keduanya harus digabungkan. Calon tidak boleh benar-benar “asing” bagi warga masyarakat. Pemilih di Makassar diyakini masih bisa mengkompromi terhadap asal usul demografi para calon, tapi sulit untuk mengonfirmasi sentimen agama atau etnis.
Pilkada Makassar pada 2018 membuktikan dengan sangat jelas bahwa pemilih Makassar sungguh membuat para politisi, terutama pasangan calon kebingungan.
Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 silam, Pilkada Makassar hanya diikuti oleh satu pasangan, atau calon tunggal, Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi. Pasangan yang terbilang pendatang baru dalam politik Makassar ini memborong dukungan sembilan-dari sepuluh- partai politik di DPRD Makassar.
Sedangkan calon petahana Ramdhan Pomanto, berpasangan dengan Indira Mulyasari, yang berniat mendaftar dari jalur perseorangan, karena tidak mendapat cukup dukungan dari partai politik, didiskualifikasi oleh Mahkamah Agung karena dituduh menyalahgunakan program kerja untuk kampanye. Ini fenomena tak lazim, layaknya dunia yang terbalik, karena biasanya petahana memiliki posisi tawar kuat dengan partai politik.
Fenomena ganjil yang sesuai dengan kajian Kausar Bailusy dalam studi Konfigurasi Otoritas Ilmuan Politik, dalam Dinamika Politik Pemilu (2009), bahwa dinamika politik menunjukkan bahwa perilaku aktor politik seringkali merepotkan para ilmuwan politik dalam memahami dinamika dalam sistem politik yang sedang berlangsung.
Hal tersebut terkait dengan perilaku aktor politik yang sering kurang sesuai dengan aturan yang berlaku dalam sistem politik terutama yang berhubungan dengan partisipan dan pragmatisme politik. Tak ubahnya perilaku politik palsu, dan ini berbahaya bagi upaya membangun demokrasi substansial.
Koalisi besar oligarki politik yang mengusung pasangan Munafri Arifuddin- Andi Rahmatika Dewi, justru dibuat malu oleh kehendak politik warga Makassar yang memenangkan kolom kosong. Untuk pertama kali dalam sejarah pemilihan langsung di kota metropolitan, calon tunggal tumbang. Alhasil, Pilkada Makassar 2018 tidak berhasil mendapatkan pemimpin, sehingga harus dilaksanakan pemilihan ulang pada tahun 2020 ini.
Hasil Pilkada 2018 itu sungguh ironis dan sangat merugikan masyarakat luas. Makassar adalah kota besar, gerbang dan pusat segala aktivitas di Indonesia Timur. Di Makassar terdapat ratusan perguruan tinggi, LSM yang mandiri, Pers yang kritis, dan jaringan masyarakat sipil yang relatif kuat.
Dengan segala sumber daya yang dimiliki, tentu tidaklah sulit menemukan figur hebat yang memiliki kompetensi untuk menjadi pemimpin kota yang melayani masyarakat. Warga Makassar berhak dan sudah sepantasnya mendapatkan pemimpin sekaliber Tri Rismaharini di kota Surabaya.
Selamat berkampanye para calon dan selamat memilih warga Makassar.
Komentar
Posting Komentar