Korupsi Adalah Kejahatan Kemanusiaan
Komitmen pemberantasan korupsi yang selalu dijanjikan oleh Presiden Jokowi semakin diragukan banyak pihak. Presiden Jokowi terlalu berlebihan menggunakan hak prerogatifnya dengan memberikan remisi dan grasi kepada para koruptor pada saat momen-momen tertentu, terutama di hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan.
Kebijakan tersebut dinilai melukai rasa keadilan dan mencederai upaya berbagai pihak untuk memberantas hangus praktik korupsi di negara kita. Dilihat dari aspek manapun pemberian remisi dan grasi tersebut tidak tepat, dan jelas banyak mengakibatkan efek kepada masyarakat luas, terutama rasa keadilan yang harusnya selalu ditegakkan.
Banyak fakta yang membuktikan kasus korupsi dan koruptor yang notabene dilakukan oleh mantan penguasa di daerah selalu mendapatkan tempat yang khusus, baik pada saat proses penyidikan, pengadilan sampai saat dijalankan putusan tersebut, yang memudahkan mereka dibanding pelaku kasus-kasus yang lain.
Kita harus bersikap tegas terhadap segala perbuatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa karena merugikan banyak pihak secara langsung maupun tidak langsung. Upaya itu harus dibuktikan dengan pemberian hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Kalau perlu dijatuhkan hukuman mati, seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara lain.
Buat para koruptor dan pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan obral ampunan hendaknya merasa malu kepada diri sendiri, masyarakat dan negara kita. Perilaku korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). United Nations Convention Againts Corruption mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Tidak mungin suatu negara akan maju jika masih tumbuh praktek korupsi.
Ada satu contoh yang bisa direflesikan tentang budaya malu mengenai perilaku korupsi di Jepang. Pada Mei 2007, Menteri Pertanian Jepang Toshikatsu Matsuoka melakukan aksi bunuh diri dan menuliskan surat wasiat untuk masyarakat jepang, “Dengan kematian ini, saya mengambil semua tanggung jawab dan memohon maaf. Tolong kasihanilah orang-orang yang masih hidup...”
Menteri Matsuoka itu dituduh menerima uang korupsi dari kontraktor senilai 28 Juta yen. Matsuoka mengaku lupa melaporkan donasi sebesar 8.500 dolat AS dari Bussines Export Forum. Dia tewas hanya beberapa jam sebelum dijadwalkan untuk diinterogasi.
Begitulah cara pejabat di Jepang menebus keasalahan dan rasa malu karena korupsi. Di Jepang, seperti pernah yang ditulis dalam esai sastra yang mengisahkan pejuang Jepang Yushio Mishima yang melakukan harakiri karena merasa gagal dalam percobaan pemberontakan melawan penguasa Amerika Serikat dan Pemerintah Jepang paska Perang Dunia II, “Bunuh diri adalah harga yang mesti ditebus demi menghapus dosa dan menjaga kehormatan”.
Jangan bandingkan dengan budaya malu di Indonesia, negara muslim terbesar di dunia dan negera yang beragama. Bunuh diri adalah suatu yang terkutuk, namun juga perilaku korupsi bukan sesuatu yang memalukan. Karena itu jangankan bunuh diri, koruptor yang jelas-jelas terbukti di pengadilan tak merasa malu dan tak merasa menyesal. Banyak sudah fakta ditemukan bagaimana koruptor terus mencari celah hukum untuk meloloskan dirinya.
Pemerintah sendiri sebagai pemegang kekuasaan juga bertindak tak tegas dengan memberikan remisi dan grasi yang membuat koruptor mengirup udara bebas dan kembali berpotensi untuk melakukan korupsi. Secara hukum memang membolehkan remisi dan grasi. Remisi dan grasi adalah hak narapidana yang tidak mungkin dihilangkan, penghilangan remis dan grasi merupakan sebuah pelanggaran terhadap Internasional Covenant on Civil and Political Rights.
Namun harus dilihat untuk kepentingan umum yang lebih luas, rasa keadilan masyarakat, dan bagaimana daya rusak korupsi terhadap banyak aspek kehidupan. Jelas, pemberian grasi dan remisi melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu daripada mempersoalkan pemberian remisi dan grasi, yang perlu dibenahi adalah sistem pemidanaan untuk koruptor dengan cara pemidanaan yang maksimal. Kalau memungkinkan hukuman mati.
Selama ini peran KPK (diperlemah secara struktur) telah berupaya menuntut koruptor dengan tuntutan maksimal dengan tujuan untuk memberikan efek jera, tetapi selalu kandas di bawah kendali kekuasaan pemerintah sebagai eksekutor yang selalu saja mengobral ampunan atas nama kemanusiaan.
Hukum memang kejam dan memaksa, seperti adagium lex dura sedmen scripta. Karena itu tidak bisa diterapkan berdasarkan kemanusiaan saja, tapi juga harus memberikan keadilan dan kemanfaatan yang hakiki.
Pemberian remisi dan grasi yang hanya berdasarkan kemanusiaan, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan terhadap narapidana lain dan terhadap rakyat adalah penyimpangan dari legal philosofi dan merupakan tindak diskriminasi.
Kalau begini, upaya melawan korupsi yang selalu dikobarkan oleh Presiden Jokowi tidak mungkin kita menangkan. Penuntasan korupsi yang merupakan salah satu agenda utama reformasi jalan di tempat, kalau tidak bisa dikatakan gagal total.
Komentar
Posting Komentar