Hidup di Kota Makassar


Menetap di kota ini memberikan saya banyak pelajaran hidup yang bermakna, bahwa rasa mencintai dan membencinya adalah suatu keniscayaan. Semakin kabur. Semakin tipis. Itu hukum jamak rasa dan logika terhadap sesuatu yang melekat dalam kehidupan kita. 

Semakin modern peradaban kota ini, ternyata semakin tidak manusiawi kehidupannya. Setiap komponen di dalamnya berlaku layaknya serigala yang memangsa serigala lainnya. Hampir tak ada lagi ruang untuk menerima dan memaafkan kesalahan. Kemanusiaan semakin nihil kita jumpai di kota yang katanya menganut prinsip “Sipakatau, Sipakainga, dan Sipakalebbi”.

Semoga saya salah berasumsi, kota ini hanya nyaman terasa ketika kita sudah berada di rumah, bersama dengan orang-orang tercinta. Begitu kita beranjak keluar dari kawasan nyaman tersebut, bersiaplah menghadapi tekanan-tekanan yang mungkin lebih banyak diperoleh dari eksternal diri. Kita akan menjumpai dan beriteraksi dengan banyak orang yang tentunya relatif merespon. Hubungan tersebut sudah pasti masuk dan mempengaruhi sistem syaraf kita. 

Kota Makassar adalah ujian nyata dalam membentuk syaraf kita. Banyak sekali keadaan yang kita tidak inginkan hadir begitu saja, tanpa kita bisa kendalikan. Alih-alih menajdi kota sehat, Makassar bagi saya semakin sakit, baik secara fisik maupun hubungan antar manusia di dalamnya.

Lihatlah Makassar dewasa ini. Kesal sekali melihat di setiap sudut kota bertebaran sampah-sampah, bahkan sampai tumpah ke jalan raya, menggenangi kanal-kanal dan sungai yang membelah kota, sehingga bau tak sedap menusuk hidung kita yang seharusnya menghirup udara segar pagi hari. Setahu saya, kota ini dulu tidak sejorok sekarang. Tidak perlu ambisi meraih penghargaan adipura, piagam simbol kebersihan kota, namun bagaimana kota kita terasa elok dipandang. 

Siapa pula tidak jengkel sepanjang menyusuri jalan-jalan yang macetnya makin membuat orang seperti raja jalanan lalu beraksi yang tak bermoral berebut jalan. Belum cukup sampai di sini. Sepanjang jalan kemacetan itu, kita masih disuguhi baliho foto-foto narsis orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai pengabdi masyarakat. Bahkan pohon-pohon dan taman-taman perindang kota tidak luput dari pemasangan gambar-gambar mereka. Mereka tidak sadar bahwa baliho, spanduk-spanduk politik mereka tersebut hanya mengotori dan merusak keindahan kota yang coba kita tata bersama.  

So, sebelum berada di hiruk pikuk kota Makassar, kuatkan mental agar Anda tidak sinting dibuatnya. Kota ini tidak layak dan tidak sehat kita hirup udaranya.

Salam.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja