Mengagumi Masjid Al Markas Al Islami


Bagi warga Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya, mungkin sudah mengenal sejarah Al-Markas Al Islami. Namun bagi para rekan-rekan yang belum sempat ke kota Makassar, tulisan ini bisa sedikit memberikan informasi jika kelak mengunjungi kota Anging Mamiri dan hendak berwisata religi di keagungan Masjid tersebut.

Masjid yang dibangun pada tahun 1994 di atas area 10 hektar, bekas kampus Unhas lama, bukan sekadar bangunan yang digunakan umat muslim menunaikan shalat lima waktu. Masjid ini punya multi peran. Tidak hanya di bidang keagamaan, tetapi juga di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.

Pantas memang, dengan bentuk bangunan fisik yang demikian megah, masyarakat Makassar pun begitu bangga dengannya. Betapa tidak, ini merupakan bagian dari identitas umat muslim setempat. Nilai-nilai keislaman, warisan budaya lokal, dan kemodernan melebur menjadi satu dengan sosok bangunan yang begitu mengagumkan. 

Masjid ini dapat berdiri berkat inisiatif Jenderal M Jusuf--mantan Panglima ABRI pada masa Orde Baru-, dan proyek pembangunannya dipimpin oleh mantan Wapres M. Jusuf Kalla. Arsitek masjid ini sendiri dipercayakan kepada tangan dingin Ir. Achmad Nu’mang, sang arsitek yang melegenda dengan Masjid Salman, Kampus ITB, Bandung.

Arsitektur megah masjid merupakan kombinasi Masjdil Haram di Mekkah, Masjid Nabawi di Medina, dan Mesjid Katangka, di Sungguminasa Gowa. Bertingkat tiga, memiliki lima pilar, dan dilengkapi menara yang menjulang 84 meter. Di dalamnya, keseluruhan masjid menggunakan granit mengilap, ukiran kaligrafi yang indah, dan konon, lampu-lampu kristal dikirim langsung dari negara Eropa Timur.

Meski saya penduduk kota Makassar, saya jarang ibadah Jumatan di Masjid megah ini.

Setiap Jumat siang, Al Markas selalu dipenuhi beragam manusia dari segala penjuru kota. Pejabat, pengusaha, pegawai kantoran, pengangguran bertemu dengan melepas status sosial mereka masing-masing di Masjid yang belakangan sering digunakan sebagai ikon baru kota Makassar. 

Ada satu hal lagi yang membuat masjid selalu berbekas dalam kenangan. Masjid ini juga digunakan sebagai tumpuan ekonomi ratusan pedagang untuk mengais rejeki. Mereka berjualan berjejer rapi dengan gaya lesehan menggelar dagangannya. Mulai perlengkapan shalat, baju formil dan non formil, minyak wangi, alat tulis, alat listirk, alat pertukangan, alat olahraga, dan masih banyak lagi. 

Belum cukup? Anda juga dapat menyaksikan secara gratis pertunjukan demo puluhan penjual obat alternatif. Mulai dari obat kulit hingga obat kuat penambah tenaga tersedia dengan kisaran harga 10-30 ribu rupiah. Hehehe.

Semoga hari-hari kita penuh berkah dan rahmat. Amin.




 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja