Cerita Algojo Pembantaian 1965
Tiap akhir bulan ini, tak putus dibicarakan perihal yang terjadi pada malam 30 September 1965 lampau.
Buku Pengakuan Algojo 1965 adalah hasil sedikit pengembangan dari investigasi majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012.
Redaksi majalah yang pernah dibredel rezim Soeharto ini, sudah berkali-kali menegaskan tak ada agenda tertentu mengangkat laporan yang sangat sensitif tersebut. Tak ada maksud membuka aib atau menyudutkan para algojo. Semata-mata pertimbangan profesionalisme jurnalistik melalui rapat redaksi.
Penulisan terkait sejarah 1965 sudah banyak beredar, dan tentu sarat dimanipulasi penguasa. Semua tahu otoriter militer di bawah kendali Soeharto. Ini namanya fakta yang amat pedih, seperti membuka luka lama yang tidak semua orang menghendaki.
Namun sekali lagi, Tempo hanya memaparkan sejarah dari aspek lain demi upaya rekonsiliasi yang terus diperjuangkan.
****
Intisari dari buku setebal 178 halaman ini adalah eksekusi pembunuhan massal terhadap manusia-manusia yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan afiliasinya.
Setelah tragedi politik 1965, Pangkostrad saat itu, Mayjen Soeharto, mengkudeta pucuk pimpinan Angkatan Darat. Soeharto membentuk dan memimpin sendiri operasi pemulihan keamanan setelah penculikan enam jenderal di Jakarta. Organisasi yang bernama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), itu sangat otoriter untuk menumpas habis PKI.
Dari kewenangan Kobkamtib yang tak terbatas inilah, sejarah kelabu negara kita terjadi. Semua komandan Kobkamtib adalah komandan militer di tiap tingkatan. Di setiap daerah, tak sulit bagi mereka yang punya kuasa merekrut jagoan-jagoan lokal untuk menjadi algojo. Caranya dengan doktrin, stigma, dan propaganda membantai PKI sampai tuntas demi kedaulatan negara. Sampai membawa ajaran agama. Dari sinilah algojo-algojo sipil bermunculan.
Tak ada angka yang pasti berapa manusia yang tewas akibat benturan ideologi ini. Namun diyakini angkanya sekitar 1 hingga 3 juta jiwa. Algojo-algojo mengeksekusi dengan dalih atas nama dendam pribadi, ideologi, agama, dan tugas negara. Tak ada rasa menyesal atas perbuatan yang jelas melanggar HAM berat tersebut. Kedangkalan ideologi yang akut menurut saya.
Kebijakan militer untuk memberantas orang-orang PKI dilakukan dengan cara paling brutal, keji, dan nihil sisi manusiawi.
Bergidik bulu kuduk, darah seperti membeku, dan hati terguncang hebat. Sangat mengerikan mengetahui bagaimana ratusan ribu—bahkan jutaan nyawa manusia, tewas ditebas oleh tajamnya golok, kapak, atau senjata tradisional, milik para algojo, yang "diberi" amanat oleh negara, hanya karena mereka yang dibunuh itu memiliki perbedaan ideologi yang belum bisa dibuktikan kesalahannya.
Mulai dari tanah Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang merupakan basis pemuda Ansor, dan beberapa Pondok Pesantren besar berdiri, kelompok algojo saling membahu menumpas anggota dan yang terkait dengan PKI. Pada masa itu beberapa daerah di Jawa Timur, masyarakatnya hanya punya dua pilihan: membunuh PKI atau dibunuh PKI.
Lalu meluas ke Bali, ribuan orang PKI dibantai nyaris tanpa perlawanan, leher mereka dipenggal dengan kelewang dan golok. Setelah manusia-manusia itu tak bernyawa, mayat mereka dibuang begitu saja di sungai, laut, jurang, atau gunung.
Menurut pengakuan algojo, orang-orang PKI itu masuk daftar di Kodim, yang mesti diberangus karena dianggap berbahaya. Ladang pembantaian bermula dan berpusat di Jembrana.
Di Flores, NTT, seorang algojo masih mengingat dengan jelas bagaimana dalam satu waktu, menggorok leher 10 orang yang tertuduh PKI. Totalnya nyaris 100 orang dikubur massal di tanah yang kini menjadi ladang garam. Seratus orang tersebut ditangkap begitu saja karena sudah masuk daftar TNI.
Dalam buku ini juga dikupas tentang militer menggelar operasi Kalong dan Operasi Trisula. Mereka seenaknya menangkap, menahan, dan menginterogasi orang-orang yang dituduh PKI di berbagai penjuru nusantara. Selanjutnya tanpa proses pengadilan, orang-orang yang dinilai “haram” itu diasingkan ke kamp konsentrasi penahanan.
Tidak hanya Pulau Buru yang selama ini kita ketahui, beberapa dari lingkaran mereka ditempatkan di sejumlah penjara, seperti Gunung Sahari (Jakarta), Pelantungan (Jawa Tengah), Jalan Gandhi (Medan), Pulau Kemaro (Palembang), dan Moncongloe (Sulsel). Di sana mereka disiksa dalam berbagai bentuk.
****
Sosial politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks, karena itulah kita mesti bijak melihatnya seluas mungkin. Jangan menilai sepenggal-sepenggal lalu menggeneralisasi. Masa 1965-1966 tentu tak bisa dinilai dengan norma-norma masa kini.
Mencoba memahami problematika batin dari sisi penjagal bisa memberi ruang pengertian yang beda terkait gejolak 1965. Karena persoalan utama rekonsiliasi pada dasarnya bukan ada pada korban atau prosedural yang selalu menjadi alibi, melainkan pada jiwa besar para pembantai (dan pemerintah), untuk menilai perbuatannya sebagai perbuatan salah dan jahat.
Permintaan maaf mungkin tak penah cukup, tapi tetap punya makna bagi negara yang beradab.
Betapa pun penolakan tak surut, langkah-langkah untuk menyembuhkan luka 1965, harus terus digerakkan. Selama ini kita menjadi bangsa yang kalah karena takut menatap bayangan sendiri dan tidak berani menyelesaikan masalah.
Pada akhirnya, buku pergulatan panjang para algojo ini patut dibaca oleh kita semua yang menginginkan penyelesaian secara berkeadilan dan bermartabat.
Hentikan konflik dan jangan wariskan kepada generasi selanjutnya.
Salam.
Komentar
Posting Komentar