Ulasan Syukur Tiada Akhir

Berjudul “Syukur Tiada Akhir”, bersampul wajah laki-laki bersahaja tersenyum, menggunakan kaca mata frame hitam, rambut cukup panjang yang bagian depan berwarna perak dibiarkan menutupi kedua telinganya, serta kedua telapak tangan disatukan, seperti ingin mengucap terima kasih dan syukur dengan kerendahan hati. 

Seorang yang tidak asing bagi saya, karena saya memang mengagumi banyak hal dari laki-laki sederhana tersebut. Tidak lain, the one, laki-laki itu adalah Jakob Oetama.

Buku ini sungguh istimewa, berkisah perjalanan utuh kehidupan Jakob yang genap berusia 80 tahun tanggal 27 September 2011. Karya pustaka setebal 660 halaman tersebut mengisahkan dan menapaktilasi jejak langkah sang guru wartawan secara mengalir dengan gaya penulisan bahasa yang baku, ringan tapi enak. Sangat khas dengan tipikal tulisan harian Kompas yang jauh dari kesan pemilihan kata-kata mengumbar kehebohan namun melenceng dari substansi.

ST Sularto, sang penulis, membagi buku ini dalam sembilan Bab bahasan, dan memberikan ruang yang luas untuk menampung pemikiran-pemikiran Jakob yang menginspirasi, sikap bagaimana mengenal dan bersatu mencintai tanah air, kemudian berbuat sesederhana apa pun demi kemajuan negara. 

Intinya rangkaian pemikiran dan pengalaman Jakob dirangkum dalam satu wujud: Rasa Syukur. "Saya pada saat ini hanya bisa bersyukur, bersyukur karena ternyata Tuhan Yang Maha Pengasih menggunakan saya dalam hidup yang diberikan. Saya melakukan refleksi sampai kesimpulan bahwa sesungguhnya saya tidak patut atau pantas menerima tugas yang begitu mulia tapi karena perkenaanNya saja," ungkap Jakob di satu kesempatan.

Buku ini juga tentu saja banyak menyampaikan pesan pergulatan tentang pekerjaan sebagai wartawan. Pergolakan batin untuk menentukan pilihan tegas yang penuh risiko agar menandatangani surat pernyataan dan kesetiaan yang disodorkan rezim anti demokrasi masa Orde Baru, untuk terbit kembalinya harian Kompas, pada 6 Februari 1978, adalah kisah yang sangat menarik dan dijabarkan secara utuh, di mana selama ini nyaris tidak ada publik yang tahu bagaimana proses harian Kompas mesti berdarah-darah menghadap banyak tantangan, bahkan permusuhan sampai menjadi media nasional yang paling berpengaruh di negara ini.

Kisah melow yang menyentuh dan kesedihan mendalam juga dikupas habis, ketika Jakob mesti ditinggal pergi rekan seperjuangannya mendirikan surat kabar Kompas, Petrus Kanisius Ojong. PK Ojong meninggal secara mendadak pada 31 Mei 1980. Sepeninggal Ojong, Jakob memikul tanggung jawab ganda, sebagai pemimpin redaksi sekaligu pemimpin umum yang fokus pada pengembangan bisinis.

Keseluruhan, selesai membaca buku ini, menyiratkan kita untuk selalu bersyukur. Bahwa bersyukur merupakan salah satu tanda orang yang beriman. Bahwa manusia yang beruntung adalah manusia yang pandai bersyukur. Bahwa manusia yang pandai bersyukur akan mampu menikmati hidupnya dengan baik.

Syukur dan terima kasih untuk kisah inspiratif Bapak Jakob Oetama. 

Selamat jalan pak Jakob Oetama.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja