Menyusuri Wajah Baru Malioboro

arsip pribadi

Usai check-in di eL Hotel di Jalan Dagen pada Senin 8 Juli 2024, Vera dan saya sempatkan beristirahat memulihkan stamina setelah melewati dua malam panjang di Prambanan Jazz. Sedangkan Siti dan Uswa memilih berenang menjelang sore di pool yang berada bersebelahan dengan lobi dan restoran.

Sore harinya sekitar pukul 17.30, kami berempat mulai keluar berjalan kaki menikmati suasana Malioboro. Untuk perjalanan kali ini, saya meminjam istilah Henri Gendut Janarto "Ziarah Malioboro".

Start dari Jalan Dagen yang terletak di barat Malioboro, kami bergerak ke arah selatan dengan tujuan utama Benteng Vredeburg dan Titik Nol, perempatan besar Kantor Pos, Bank BNI, Monumen Serangan Umum 1 Maret, dan Jalan Trikora menuju Alun-alun Utara.

Ada sesuatu perasaan lega sekaligus takjub berjalan kaki di pedestrian Malioboro yang sudah ditata dengan rapih dan sangat ramah bagi pejalan kaki.

Sejak awal 2022 pedagang kaki lima (PKL) yang dulu berjualan di sepanjang trotoar sepanjang 2 kilo meter direlokasi di Teras Malioboro I, menempati lahan bekas Bioskop Indra, seberang Pasar Beringharjo. Sedangkan Teras Malioboro II di bagian utara yang dulunya gedung Dinas Pariwisata DIY bersebelahan dengan Hotel Garuda.

Jadi inilah wajah baru Maliboro, lebih bersih dan rapi. Penataan ini membuat pejalan kaki yang hanya ingin berjalan santai merasakan lebih nyaman dan lebih leluasa, seperti diberikan karpet merah. Tidak lagi merasa terganggu dan tidak nyaman sepanjang berjalan ditawari ratusan PKL. Sekarang pengunjung yang ingin berbelanja bisa langsung datang ke Teras Malioboro.

Relokasi ini merupakan bagian dari penataan kawasan "Sumbu Filosofis Yogyakarta", jalan yang membentang lurus dari Stasiun Tugu hingga Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dimaknai sebagai perjalanan kehidupan manusia dari lahir sampai kembali ke Pencipta. Sumbu filosofis ini telah diajukan ke UNESCO untuk dijadikan warisan budaya dunia.

Sebelum menjadi tujuan wisata paling populer di Jogja, Malioboro merupakan jalan utama menuju Keraton, disebut rajamarga atau jalan kerajaan. Konon Malioboro difungsikan sebagai jalan raya resmi yang dibangun bersamaan dengan Keraton Yogyakarta. Sesudahnya, Jalan Malioboro juga simbol transformasi peradaban masyarakat, sebagai kota kerajaan yang berpadu dengan kehidupan modern.

Kami melintasi deretan toko di kawasan Malioboro dengan lapang menjelang senja. Toko-toko di Malioboro menjual kebutuhan sangat lengkap. Dari toko perlengkapan rumah tangga, pakaian, obat atau apotik, arloji, elektronik, money changer, dan lain-lain.

Berjalan-jalan di Malioboro merasakan betul kawasan multikultural, kita menjumpai orang dari berbagai macam etnis dan golongan. Semua orang bebas mengekspresikan diri tanpa ada intimidasi dan stigma macam-macam di sini.

Jalan Malioboro memberikan suasana kebersamaan, keakraban, dan kesenangan. Kita bebas menyaksikan pertunjukan dari seniman dan musisi jalanan di sepanjang Malioboro. Melihat kusir andong berpakaian adat Jawa menarik pelana kuda, tukang becak tradisional dan becak motor yang mengantar wisatawan, dan banyak kegiatan menarik lainnya.

Sambil berjalan menuju Benteng Vredeburg, kami sempatkan jajan jasuke di gerbang Jalan Beskalan, sisi Malioboro, kemudian sekadar duduk bersantai dan berfoto-foto di bangku trotoar estetik, dan tiang lampu bercabang tiga Malioboro yang ikonik.

Menjelang Magrib, kami sudah sampai di teras Pasar Beringharjo. Siapa tak tahu Beringharjo? Pasar ini masih menjadi lokasi favorit wisatawan dan warga setempat untuk berbelanja pakaian terutama batik karena menawarkan harga yang terjangkau seluruh masyarakat. 

Jalan-jalan di Malioboro seolah melintasi ruang dan waktu. Kenangan kan membawamu kembali ke Jogja.






 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja