Review Namaku Alam


Leila S Chudori pencerita seru, bahasanya lincah, menyentuh, dan humor cerdas. Ia kembali menerbitkan novel terbaru berjudul Namaku Alam, yang rilis pada akhir 2023.

Leila menyusun novel setebal 450 halaman ini menjadi dua bagian besar, yang ia beri nama Kuning Jingga dan Merah Kesumba, dalam dua bagian diturunkan sebanyak 12 bab.

Namaku Alam ditarik-spin-off (bukan sekuel) dari novel Leila sebelumnya, Pulang (2012), yang berkisah para eksil politik di Paris yang tak bisa pulang ke Indonesia sejak peristiwa 1965. Renacananya akan ada jilid kedua Namaku Alam, sehingga menjadi Tetralogi Leila dalam satu peristiwa: 1965 dan setelahnya.

Jika kita ingat membaca Pulang, Alam adalah anak kandung dari Hananto Prawiro dengan Ratna Surti Anandari, wartawan Berita Nusantara, yang dituduh berafiliasi dengan organisasi terlarang PKI. Hananto ditangkap pada 1968 dari persembunyian selama tiga tahun di Cahaya Foto, Jalan Sabang. Ia kemudian dieksekusi mati tanpa proses peradilan, pada 18 Mei 1970, saat Alam berusia 5 tahun.

Bersama ibu dan dua kakak Bunga Kenanga (dalam novel Yu Kenanga) dan Bening Bulan (Yu Bulan), mereka adalah satu keluarga yang harus senantiasa diawasi dan diancam karena dinilai tidak "bersih lingkungan', mereka marah pada stigma yang absurd tersebut. Mereka keluarga yang menghadapi rintangan hidup di negara Indonesia yang dipimpin otoritarian Orde Baru.

Selain Alam, tokoh sentral adalah Yu Kenanga dan Yu Bulan. Mereka tumbuh dari bocah, remaja, dewasa bertemu dengan beberapa orang, dari berbagai latar belakang, ideologi, dan prinsip.

Alam, contohnya, tidak pernah bisa cocok dengan Irwan, sepupunya, karena pola pikir dan pola sikap yang sangat berbeda. Justru dengan Bimo Nugroho, yang juga anak kawan ayahnya ia menemukan sahabat sejati, begitu dekat hati dan pemikirannya.

Mereka berdua membaca, mendiskusikan, dan memperlakukan buku sebagai bagian hidup. Menulis sebagai belajar menahan diri dan menghadang kemarahan. Alam dan Bimo mengadu layangan, gemar bermain catur, dan tak suka permainan monopoli yang kapitalis dan membuat orang menjadi serakah.

Jika Bimo seorang pelukis sketsa berbakat, Alam adalah tipe manusia yang punya photograpic memory, yakni kemampuan menyerap, mengingat, dan menjelaskan setiap kalimat yang dibaca, setiap visual, foto, gambar, yang pernah dilihat dan dialami. Baik atau buruk, senang atau sedih. Entah ini bakat atau kutukan. Alam semacam ensiklopedia berjalan.

Kemudian mereka bertemu dengan orang-orang dengan karakter-karakter yang kuat dalam perjalanan hidup.

****

Semua tokoh (judul bab), dari Umayani guru sejarah, Bang Joe penjual buku bagus di Kwitang,  hingga Amelia Andara dan Dara Ariana teman sekolah Alam yang cerdas di SMA Putra Nusa, semuanya memberi latar dan konflik yang kuat dan saling tertaut.

Leila dengan lancar menarasikan untuk memberitahu kita karakter-karakter unik dalam novel ini dengan kegiatan-kegiatan sederhana, seperti saat mereka bermain layangan, ketika memasak bersama sambil bercerita, kegiatan-kegiatan sekolah, nonton pertunjukan dan sebagainya.

Kita dibawa kembali pada era 1970-an hingga masa 1980-an, plot novel ini. Sambil bercerita Leila menautkan fenomena sosial politik pada masa itu, buku-buku yang dibaca seperti 1984, Bumi Manusia, dan Romeo and Juliet; membaca saja-sajak indah penyair W. S Rendra; mendengar deretan lagu karya musisi, dari Ismail Marzuki, Billy Joel, Elton John, dan Paul McCartney. Film yang dikutip adalah Sang Guru yang dibintangi pelawak S Baggio, dan juga film Kramer-Kramer yang mengubah budaya pop keluarga Amerika Serikat.

Dengan pendekatan berkisah, Leila mengkritik sistem pendidikan dan seluruh sistem dan perangkat sosial politik negara ini, dari era 1970-an dan ternyata masih relevan pada masa sekarang.

Serupa dengan Pulang dan Laut Bercerita, membaca novel ini memberikan banyak pengetahuan baru dan kebenaran yang belum pernah diungkap dan diselesaikan.

Pada akhirnya saya ingin mengutip kalimat yang tertulis di halaman awal, "buku ini untuk mereka yang percaya bercerita adalah bagian dari perawatan jiwa."















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja