Bumi Manusia dengan Segala Persoalannya

(sumber foto: https:/www.cnnindonesia.com/hiburan/)

Saya menonton Bumi Manusia nyaris setahun silam, dan baru kali ini berkesempatan membuat reviewnya.
Bagi pembaca tetralogi Pulau Buru, terutama Bumi Manusia, karya Pramoedya Ananta Toer, tentunya merasa gembira novel yang diterbitkan pada 1980--kemudian dilarang diedar dan dibaca pada rezim Orde Baru karena dianggap mengajarkan paham komunis--diangkat dalam layar lebar. 
Tapi sekaligus kita tak berharap banyak akan bisa menyamai klimaks seperti pada naskah novelnya setebal 535 halaman. Kunci penting, datanglah ke bioskop dengan ekspektasi sedang-sedang saja.
Sesungguhnya saya bukan fans Hanung Bramantyo. Batin saya lebih menginginkan film Bumi Manusia digarap Garin Nugroho, yang sukses menghidupkan sosok Hadji Omar Said Tjokroaminoto, Guru Bangsa yang juga pemimpin Sarekat Islam (2015). 
Bisa pula Riri Riza yang pada 2005 berhasil membesut Gie, film sejarah kolosal tentang mahasiswa aktivis. Biar begitu Bumi Manusia tetaplah Bumi Manusia, novel terbaik Indonesia yang telah saya lahap berkali-kali sejak pertama pada tahun 2000 silam.
Film Bumi Manusia secara keseluruhan nampaknya cukup patuh pada novel, dan saya (kita) patut memberikan apresiasi pada Hanung yang bisa menahan godaan untuk tak bereksperimen terlalu jauh, sebagaimana ia pada film-film sebelumnya.
Berfokus pada tiga karakter: Minke, Ontosoroh, dan Annelies Mellema. Ketiganya menghidupkan dan menghubungkan seluruh tokoh dalam film.
Minke dilahirkan pada 31 Agustus 1880, pribumi anak Bupati B, sehingga dapat bersekolah di Hoogere Burger School (HBS). Nama Minke merupakan plesetan- akibat gurunya spontan mengucapkan 'Monkey' ketika hendak menghukumnya di ruang kelas. Minke oleh Hanung dipercayakan pada Iqbal Ramadhan. Aktor yang melejit lewat film Dylan 1990 (& 1991)--idola baru perempuan remaja saat ini.
Iqbal tampil cukup baik menghidupkan sosok Minke, meski di beberapa adegan, Iqbal sempat kehilangan magis Minke. Seperti ketika Minke bersimpuh pada ibunya (Ayu Laksmi), memohon dan menolak menjadi Bupati, pengganti ayahanda kelak, bahwa:
'Dunianya bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Dunianya adalah Bumi Manusia dengan persoalannya. Hanya ingin menjadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah.' 
Kalimat itu merupakan salah satu kutipan buku yang paling menancap bagi saya.
Kalimat bagus lain dalam novel 'Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri; bersuka karena usahanya sendiri dan; maju karena pengalamannya sendiri' bahkan terpotong ketika dialog Ontosoroh (Ine Febriyanti) memuji Minke pada waktu pertama berjumpa di ruang tamu rumah besar Ontosoroh di Wonokromo.
Justru adegan pemerkosaan Annelies Mellema (Mawar de Jongh) yang mendapat perhatian berlebihan. Hanung lebih memilih mendramatisirnya dengan teknik gerakan lambat seolah mencekam ala sinetron-sinetron kita, untuk membuat daya kejut pada penonton bioskop.
Padahal saya yakin siapa pun yang membaca novelnya pastilah menilai adegan slow ini sangat membosankan. Tak lagi terkejut saat kamera menunjukkan bahwa pelaku pemerkosa adalah Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak kandung Annelies sendiri.
Annelies digambarkan sebagai gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata pribumi. Mata Annelies berkilauan seperti sepasang kejora, dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman, membuat Minke jatuh cinta pada pandangan pertama.
Cantik tiada tanding, demikian pujian Minke pada Annelies di ladang perkebunan dan peternakan milik keluarga Ontosoroh. Mawar de Jongh yang tidak pernah saya kenal dalam dunia sinema Indonesia, memainkan dengan cantik karakter Annelies, pas dan tak berlebih-lebihan.
Ontosoroh atau Nyai yang diperankan Ine adalah karakter paling mendekati asli dan tampil paling apik. Walaupun tidak digambarkan sebagaimana di novel bahwa Ontosoroh awalnya bernama Sanikem, gundik tuan Herman Mellema seharga 25 gulden, banyak membaca novel-novel barat sebelum beranjak tidur. Kebiasaan yang membentuk karakternya sedemikian kuat.
Penampilan Ine sangat memuaskan dengan wajah, konde, kebaya, tatapan mata, gestur, dan tutur kata yang membius, hanya hidung mancung Ine yang tidak seperti dugaan saya. Barangkali Ine tak lagi asing karena sudah beberapa kali memerankan Ontosoroh di pementasan teater.
Selain disimpul kisah percintaan Minke dan Annelies, serta persoalan pelik keluarga Mellema, film ini juga mengangkat perjuangan Minke dan Ontosoroh, sebagai pribumi, menentang, ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan hegemoni koloni Hindia Belanda, sembari bertekad mengubah budaya feodalisme--Minke tak paham mengapa harus berjalan jongkok di rumah ayahnya-pribumi yang membelenggu. 
Minke dan Ontosoroh pada akhirnya dinyatakan kalah oleh hukum kolonial Belanda. Minke harus kehilangan Annelies, bungsu Ontosoroh yang cantik rupawan. Sementara Ontosoroh kehilangan semua harta benda termasuk ladang pekebunan yang susah payah dibangun untuk menghidupi sekitar 500 keluarga petani ladang penggarap.
Hanung mengakhiri film ini dengan menampilkan vokal bariton Iwan Fals yang menyanyikan Ibu Pertiwi, entah apa alasannya. Apa pun itu, yang jelas saya dapat menikmati film berdurasi 181 menit tersebut. Kita patut merayakannya.
Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja