Review Film Soegija

Antara nilai-nilai agama dan budaya saling mengisi, melalui wadah budaya, nilai-nilai agama diekspresikan dan dilembagakan sehingga masyarakat atau umat beragama mudah memahami dan menerimanya. 
Negara Indonesia telah disepakati tidak didominasi norma agama tertentu, namun kehidupan bebangsa dan bernegara Indonesia tidak boleh lepas dari nilai-nilai agama yang lebih bersifat muamalah, bukan norma dari perpektif ibadah di mana setiap agama memiliki detail yang berbeda. 
Dalam kandungan tataran agama muamalah, norma agama relatif mempunyai nilai yang sama, contohnya anti diskriminasi, cinta kasih, saling memaafkan, dan sebagainya.
Pemikiran dan penerapan nilai luhur tersebut diterjemahkan secara apik lewat satu film semi-dokumenter karya Garin Nugroho berjudul Soegija (2012).
Bercerita Monsinyur Albertus Soegijapranata SJ, Uskup pribumi pertama menjalankan peran untuk mengabdi kepada umat dan juga membantu Indonesia meraih dan mempertahankan kemerdekaaan.
Berdurasi 115 menit dengan setting satu dekade masa mencekam (1940-1950). Prinsip yang selalu diteguhkan Soegija adalah kemanusiaan itu adalah satu yang universal, kendati berbeda bangsa, asal-usul, keyakinan, dan latar belakang.
Sesuai signature Garin lewat karya-karya sebelumnya yang selalu mengajak penonton ke alur realistis sisi kemanusian peradaban kehidupan yang menyentuh. Pendekatan Garin dengan sengaja tidak menonjolkan ritual agama katolik patut diacungi jempol. Metode yang tentunya sulit dan butuh kecerdasan tingkat tinggi ketika harus mengadaptasi kisah teladan seorang tokoh (pahlawan) yang berlatar belakang agama. 
Begitu juga dengan nama-nama yang terlibat dalam film yang butuh dana 12 miliar ini. Garin sekali lagi tidak terjebak pada nama-nama besar yang mempunyai potensi besar di pasar perfilman. Karakter-karakter dalam film hanya diperuntukan sesuai dengan tuntutan skenario yang kali ini dipercayakan ditulis oleh Armantono dan Garin sendiri. 
Saya meyakini, bagaimana sulitnya menentukan aktor yang akan memainkan peran Soegija, di mana akhirnya budayawan, Nirwan Dewanto yang dipilih Garin. Nirwan bermain cukup bagus meski mungkin belum cemerlang sesuai ekspektasi tinggi yang kadung ter-setting. Debut di dunia akting mungkin menjadi alasan Nirwan yang termaafkan.
Selain Soegija, sosok sentral juga ada pada karakter Mariyem, perempuan Jawa berprofesi sebagai perawat yang menarik perhatian dan dipuja laki-laki Londo yang bertugas sebagai jurnalis negara kompeni. Annisa Hertami adalah nama yang sama sekali asing, dan hanya Garin yang paham mengapa gadis muda 22 tahun tersebut yang terpilih memerankan Mariyem. 
Menyimak karakter Mariyem, langsung mengingatkan saya akan sosok Evelyn (Kate Beckinsale) di film Pearl Harbour (2001), besutan Director Michael Bay, seorang perawat cantik yang bertugas di situasi perang pasifik mencekam, lengkap dengan kisah romantisme asmaranya. 
Mungkin hanya Butet Kertarajasa dan Olga Lidya yang familiar dengan indusri hiburan tanah air. Butet bermain sebagai Tugimin, sekali lagi tampil seperti biasa dengan gaya komikal dan tutur kata yang jenaka. Olga Lidya memerankan ibu etnis Tionghoa yang berpisah dengan anak kesayangan di masa pendudukan Jepang juga patut diberi kredit untuk aktingnya.  
Tampak sangat jelas, Garin membesut film ini dengan niat serta detail yang apik. Riset yang mendalam untuk kedalaman karakter-karakter; setting yang memplot tiga kota: Ambarawa, Semarang, dan Jogjakarta menjadi kota awal kemerdekaan; aransemen musik nostalgia (mendiang) Djaduk Ferianto yang sekaligus produser, editing yang pas; pengenaan kostum dan artistik yang mendukung; serta dilengkapi penataan sinematografi yahud menjadikan film ini adalah maha karya Garin Nugroho Cs, untuk kita semua, Bangsa Indonesia. 
Salam Sinema.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja