Kejahatan Kemanusiaan Bernama Rasialisme
(sumber: https://www.globaltimes.cn/) |
Sudah dua pekan kematian George Floyd, warga berkulit hitam dari Mineapolis, Amerika Serikat. Floyd tewas secara tragis karena tindakan anarki seorang polisi berkulit putih. Lehernya diinjak oleh dengkul polisi tersebut selama sembilan menit dan ia kehabisan napas.
Sampai sekarang saya masih belum bisa percaya dan menerima dengan akal sehat bagaimana pembunuhan itu bisa terjadi. Tak terbayangkan sama sekali seorang manusia mati dengan cara demikian. Sungguh suatu perlakuan keji, sangat tidak manusiawi.
Kematian Floyd bukan sekadar peristiwa kriminal biasa, namun masalah yang jauh lebih berat dan mengundang bahaya besar, yakni rasialisme. Rasialime jelas sangat merendahkan martabat manusia. Merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan pada abad modern, seperti hendak membayangi kekejaman perang dunia kedua.
Kita tidak bisa menafikan rasialisme merupakan persoalan global pengingkaran hak-hak manusia yang terjadi secara sporadis di seluruh dunia, terjadi kapan saja dan di tempat mana pun. Tak terkecuali Amerika Serikat yang dipandang sebagai negara paling demokratis. Satu tindakan berbahaya yang mencengkram peradaban manusia hingga abad milenium.
Rasialisme dapat menjelaskan banyak hal yang menyebabkan penderitaan dan kematian yang dialami orang kulit hitam: Mulai dari memenuhi kebutuhan makan, lingkungan tempat tinggal, sistem pendidikan, akses kesehatan, mendapatkan pekerjaan layak, putusan pengadilan, dan jelas semua aspek.
Sederhananya orang dengan kulit hitam lebih berpeluang dicurigai dibandingkan orang kulit putih. Saya yang belajar ilmu hukum, sudah lama menemukan penelitian atau kajian-kajian yang menyimpulkan bahwa di balik yurispundensi pengadilan Amerika Serikat, berkelindan sikap diskriminasi para hakim.
Dalam kasus yang relatif sama, maka vonisnya berbeda. Orang kulit hitam akan menerima hukuman yang lebih berat ketimbang orang yang kulitnya putih. Apalagi jika kasus pembunuhan korbannya warga kulit putih dan pelakunya adalah warga kulit hitam, sanksinya jauh lebih berat dibandingkan kasus pembunuhan orang kulit hitam dengan terpidana warga kulit putih, seperti kasus Floyd. Wujud stereotipe para penegak hukum yang sudah tertanam begitu dalam.
Jika kita membaca The Demon-Haunted World oleh Carl Sagan, stereotipe ada dimana-mana, sebagai akibat dari semacam kemalasan intelektual; bukannya menilai orang berdasarkan kelebihan dan kekurangan individu. Stereotipe tidak perlu banyak berpikir, walaupun dalam banyak kasus yang dibayarkan adalah ketidakadilan yang parah. Stereotipe menimbulkan prasangka, dan prasangka membunuh akal sehat, sehingga menimbulkan diskriminasi, kemudian terjadilah penindasan yang sangat berbahaya untuk kemanusiaan.
Rasialisme biasanya tidak terkait dengan tingkat pendidikan individu, tapi dengan kepentingan, terutama kepentingan politik dan ekonomi. Kolomnis Thomas Friedman menulis di The New York Time, bahwa negaranya menuju perang sipil budaya, dan kita tidak beruntung karena Abraham Lincoln bukan presiden. Amerika Serikat dapat dipandang sebagai tempat kekerasan yang unik, dikutuk dengan sejarah rasial yang tragis.
Argumen Friedman berdasarkan sejarah panjang ke belakang, bahwa penindasan rasial yang tak pernah bisa dihentikan juga disebabkan karena kepemimpinan (Donald Trump) yang lemah. Warga protes menuntut keadilan dan kemarahan yang dilampiaskan adalah wujud frustrasi terhadap sistem yang dibangun oleh pemerintah.
Kita mesti bersatu mengatasi fenomena berbahaya ini, tidak saja untuk mempertahankan integritas, kredibilitas intitusi dan negara, namun jauh lebih bernilai menyelamatkan kemanusiaan yang beradab. Ke depan tak lagi ada yang mempertentangkan hal kulit manusia yang hanya setipis ari, karena itu sangat memalukan dan tidak beretika.
Seluruh manusia dari latar belakang mana pun dia berasal, berhak tumbuh kembang dengan baik, hidup layak, dan tidak sekadar bertahan hidup, apalagi ditindas.
Komentar
Posting Komentar