Adab Orang Bugis di Meja Makan

(dok. pri)

Menonton film Athirah, meski harus diakui bukan masterpiece duo Riri Riza-Mira Lesmana, cukup berhasil menerjemahkan dengan memikat sosial budaya orang Bugis dan Makassar. Riri yang merupakan sutradara berdarah Bugis, seperti hendak mewujudkan sintesis berupa makanan, minuman, keluarga, dan budaya (Bugis dan Makassar) yang membuat hidup lebih menyenangkan untuk dirayakan sembari tetap bersyukur.

Dalam kisah inspirasi ibunda Jusuf Kalla tersebut, beberapa kali Riri menampilkan adegan makan bersama dalam sebuah keluarga inti, membuat saya yang tumbuh-kembang dari asuhan keluarga Bugis-Bone konvensional, terkenang kembali pada satu tradisi, yang barangkali di beberapa kelompok masyarakat Bugis dan Makassar terus mengalami pergeseran nilai dan ritual.

Makan malam adalah waktu terbaik untuk berkumpul dan makan bersama, biasanya selepas sembahyang Magrib. Di ruang yang sama, menyatu dengan dapur, kami meriung di meja makan keluarga. Tak ada yang istimewa tersaji, menunya standar saja, mulai nasi putih, sup, sayur kangkung atau sayur bening, ikan bolu (Bandeng) direbus,-kami menyebut bale nasu, ikan goreng, dan beberapa masakan kecil sebagai penambah selera.

Setiap rutinitas tersebut biasanya hening, nyaris tanpa suara. Kami juga duduk di kursi yang seperti sudah ditentukan, dengan peralatan makan (piring dan gelas) yang sama pula. Piring dan gelas Ayah sebagai kepala keluarga tentulah berukuran paling besar, paling mengilap dengan motif yang cantik. Ibu selalu lebih berhati-hati jika menempatkan dan mengangkatnya di meja. Gelasnya pun ukuran jumbo. Sementara piring dan gelas kami seragam, seperti bidak kembar delapan dalam permainan catur. Katakanlah bahwa jika piring kami dibeli cara lusinan, maka peralatan makan ayah dipilih selektif dengan sarat makna.

Semacam bentuk penghormatan untuk ayah sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Delapaan tahun lalu saya menikah, dan saya pun tak pernah menyangka ketika istri memperlakukan saya serupa ayah, dengan memberi piring dan gelas berukuran besar. Sementara piring dan gelas istri berukuran normal. Begitulah adab orang Bugis dan Makassar di meja makan, meski tidak sekuat dulu, patron-klien masih dipegang erat sebagai penghormatan mulia.

Sebagaimana makan orang Bugis dan Makassar, tradisi makan keluarga kami juga tidak lepas dari nasi dan ikan. Tidak pernah sekalipun lauk ikan absen dari meja makan, pagi-siang-malam. Pokoknya menu utama. Pagi biasanya ikan goreng. Siang dan malam giliran ikan bolu masak (pallumara) dihidangkan. Bagi orang Bugis, ikan makanan terpandang dan terhormat. Kalau meja makan tidak tersedia ikan, bisa dianggap tidak ada siri’ (rasa bangga).

Salam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja