Pengalaman Saya dengan Kompas (55 Tahun)

(sumber: https://epaper.kompas.id/)


Perkenalan saya dengan Kompas karena kebiasaan yang tertular dari ayah saya-pembaca setia koran Kompas. Sudah lebih dari 30 tahun.

Saya masih mengingat ayah berlangganan dua koran sekaligus. Satu koran lokal bernama Pedoman Rakyat, satu lagi koran nasional bernama Kompas. Pedoman Rakyat bacaan ayah di pagi hari sebelum berangkat ke kampus, sedangkan Kompas baru bisa dilahap ayah di waktu sore hari, menunggu waktu sembahyang magrib selepas pulang kerja (Kompas baru diantar pada lewat tengah hari, karena harus menunggu percetakan dan pengiriman dari Jakarta).

Hampir setiap hari--pagi dan sore, saya selalu menemani ayah membaca koran di teras rumah kami di kota Makassar (dulu Ujung Pandang), sambil disuguhi kudapan dari dapur ibu, biasanya teh hangat dan pisang goreng.

Tidak sekadar menemani, namun saya mulai ikut membaca Kompas. Meski saya baca hanya rubrik olahraga. Saya sering memohon kepada ayah untuk membagi lembaran Kompas yang memuat berita olahraga. Headline, tajuk rencana, dan rubrik lain, kerap saya lewatkan. Pokoknya, begitu dapat Kompas, saya langsung membuka halaman belakang (hlm.15) bagian rubrik olahraga.

Jika hari Jumat, saya ingin pastikan paling depan di teras rumah menunggu si-abang loper Kompas datang. Kenapa? Karena ada tabloid Bola cuma-cuma, sebagai sisipan Kompas. Saking senangnya, saya membaca Bola itu berkali-kali, menyimpannya sebagai koleksi.

Sempat sedih saya kala Bola diedarkan terpisah pada 1988. Hargan eceran sekitar Rp. 350. Tentu saya belum punya duit sebesar itu akhirnya jadi berjarak dengan Bola. Hanya sesekali ayah membelikan, saya masih ingat Bola pertama yang dibelikan ayah bersampul Mike Tyson, "Si Leher Beton" yang sedang di puncak kejayaan tinju dunia (Bola pada Oktober 2018, berhenti terbit edisi cetak).

#Jika mengingat momen-momen paling berharga dengan ayah, saya merasa terharu, bersyukur, sekaligus sedih, karena momen berharga bersama ayah selalu ingin saya kenang. Semoga Allah SWT selalu memberika kesehatan, rahmat, menjaga dan melindungi ayah saya. Amin.

Rutinitas membaca Kompas (olahraga) akhirnya menjadi kebutuhan, bahkan ketika ayah menyekolahkan saya di Jogja. Untung saja perpustakaan sekolah berlangganan Kompas. Jika waktu istirahat atau ada waktu luang, saya selalu mencari Kompas tersebut yang kadang dibaca juga oleh banyak siswa.

Di sinilah saya mulai membaca Kompas lebih luas, lebih dalam, tidak sekadar rubrik olahraga. Pun ketika kuliah, nyaris tak pernah saya lewatkan ke perpustakaan kampus demi membaca Kompas. Bahkan Pak Slamet, pegawai perpustakaan, sudah hafal betul kebutuhan saya, ada kalanya dia sengaja menyimpan Kompas dan Bola untuk saya. Jika hari libur, saya baru membeli Kompas secara eceran.

****

Sesuai terminologi, Kompas, berfungsi menunjukkan arah, benar-benar terjadi pada diri saya. Bukan hal yang berlebihan kalau belum baca Kompas, bagi saya, seperti ada yang salah, seperti ada yang kurang, seperti belum komplit, seperti belum makan. Pokoknya rasanya tersesat karena tak punya kompas penunjuk arah.

Kini Kompas sudah 55 tahun hadir mencerahkan kita semua, usia lebih dari setengah abad, lebih tua daripada usia saya, 39 tahun. Usia 55 bagi manusia adalah usia yang panjang dan matang. Tapi bagi koran, usia itu belum seberapa jika kita membandingkan dengan usia koran New York Times, majalah Times, koran The Guardian yang telah ratusan tahun terbit.

Saya sering membayangkan dan bertanya-tanya bagaimana bisa sebuah media bisa bertahan sedemikian lama bahkan terus berkembang di tengah banyak rintangan yang semakin kompleks, di tengah membanjirnya informasi platform digital. Tapi tiga dekade saya menjadi pembacanya membuat saya cukup paham bahwa Kompas selalu berpegang pada etika dengan memproduksi berita yang membuat publik benar-benar percaya meskipun bersaing dengan media sosial di era post truth.

Chris Murray menulis dalam bukunya, Epic Measures (2015), bahwa semakin banyak kita memastikan informasi yang dapat dipercaya, semakin baik keputusan yang bisa kita buat, dan semakin banyak dampak yang kita semua miliki.

Kompas adalah contoh media yang mengedepankan substansi ketimbang sensasi. Bahkan saya sering amati, informasi, kajian, dan analisa Kompas, kerap dijadikan acuan kebijakan pemerintah.

Meskipun begitu Kompas tak lantas menjadi bagian dari kekuasaan yang bisa menjadi perangkap independensi Kompas, ujian terbesar media jika berelasi dengan kekuasaan. Kompas mampu menempatkan diri tidak berada di bawah penguasa. Tetap menjaga kewarasan dan independensi dengan berpikir dan bertindak bijak bagi kepentingan publik. Sesuai adagium yang masih relevan, bahwa pers sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi. Pers sebagai alat kontrol dan sebagai penyambung bagi orang yang sulit bersuara.

Sungguh, Kompas selalu saja memberikan saya kepuasan batin. Saya banyak mendapat informasi yang berkualitas, akurat, dan netral. Variabel ini mampu menepis keraguan saya terhadap melimpah informasi yang makin bebas seperti sekarang ini.

Berprofesi sebagai dosen bidang ilmu sosial, saya senantiasa memperkaya bahan pelajaran, dengan tiap hari mencari referensi tambahan dari Kompas. Saya sering memberikan contoh dan pemahaman pada mahasiswa, berdasarkan pendekatan Kompas, khususnya berita dan ulasan ilmu Humaniora dan Kependidikan, yang nampaknya mendapat perhatian serius redaksi Kompas.

Terima kasih Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) dan Jakob Oetama yang telah mendirikan dan menerbitkan Kompas. Terima kasih kepada seluruh awak redaksi Kompas yang penuh dedikasi dan inspirasi mendidik masyarakat Indonesia. Ke depan saya berharap banyak Kompas senantias menjadi pedoman dengan menjaga kredibilitas dan kualitas pemberitaan.

Dirgahayu Kompas, Amanat Hati Nurani Rakyat.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja