Dalam Beras Bugis ada Doa, Harapan, dan Rasa Syukur
(dok. pri) |
Sewaktu saya masih sekolah di Jogja, setiap ibu berkunjung dari Makassar, pastilah tak lupa membawa bekal utama: beras. Ya, sekarung beras Bugis. Begitu pula kalau saya sudah mesti balik ke Jogja, setelah mudik lebaran, ibu selalu menyiapkan paket berupa literan beras, untuk bekal makan di Jogja nanti. Padahal di Jogja sendiri, banyak beras kualitas bagus dengan mudah dibeli. Ada beras Cianjur yang terkenal, atau beras Delanggu yang gurih, dan sebagainya.
Saya sudah cukup sering mengatakan pada ibu, untuk tidak perlu repot dan susah-susah membagasikan beras di pesawat. Namun ibu bergeming, tetap memboyong berasnya sendiri. Ada perasaan tidak enak, tidak sreg, sesuatu yang tidak lapang katanya, kalau bepergian jauh tanpa membawa beras. Kakak saya yang menetap di Jakarta, juga acap kali dibawakan beras dari Makassar, atau ibu menitipkan kepada anggota keluarga yang hendak pergi ke ibukota.
Jauh setelah itu baru saya mengerti, baru saya paham, dan merasa malu sendiri, pada apa yang dilakukan ibu saya selama itu, hingga sekarang. Beras bagi orang Bugis (ibu), lebih dari sekadar bahan pembuat nasi sebagai makanan pokok. Dalam beras ibu-- sebagai orang Bugis, terkandung di dalamnya sebentuk doa, secercah harapan, perwujudan rasa syukur, serta penghormatan kepada alam dan Tuhan yang Maha Pemurah.
****
Beras memang andalan komoditas pertanian yang dibudidayakan sepanjang sejarah peradaban Bugis. Saking pentingnya peran beras dalam kehidupan, orang Bugis senantiasa mengadakan upacara adat pertanian khusus dalam menanam dan memanen padi. Untuk menanam padi, wajib melakukan ritual-ritual tertentu secara teratur.
Petani Bugis tidak boleh membajak sawah sebelum diselenggarakan penyelenggaraan upacara khusus. Pertama Appalili, upacara pembajakan tanah. Inilah waktu yang tepat untuk menanam padi. Appalili sangat diyakini dan dijalankan sebagai pedoman bagi petani menyambut musim tanam padi. Menurut etimologi, Appalili berasal dari kata Palili, yang memiliki makna menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan mengganggu atau menghancurkannya.
Dalam penyelenggaraan upacara Appalili seperti seolah menempatan komunitas Bissu---pemuka adat Bugis, sebagai pepimpin upacara, karena Bissu inilah yang menentukan waktu musim tanam yang tepat. Seiring kemajuan zaman, penetapan hari “H”. Appalili kini juga biasanya ditetapkan pemerintah daerah.
Setelah Appalili, diselenggrakan Apatinro Pare atau penyemaian bibit. Ritualnya menyimpan bibit padi dari berbagai varietas di sebuah tempat khusus di rumah (bola), yang bertujuan untuk menjaga agar tak satupun binatang yang membawa hama bisa menjangkaunya.
Apatinro Pare juga dirangkai dengan Massureq, proses membaca naskah-naskah lontara secara khas yang tertuang dalam epos epik La Galigo, yang sangat dijunjung tinggi masyarakat Bugis. Massureq seperti kewajiban dalam setiap orang Bugis menyelenggarakan hajatan, seperti perkawinan (mappabotting), pindah rumah (mappaenre bola), dan sebagainya. Saat kekeringan panjang terjadi, masyarakat Bugis meyakini hal itu dipicu tak adanya Massureq.
Ritual tradisi berpuncak ketika musim panen tiba. Digelar Katto Bokko, sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, akan hasil panen yang telah diraih. Dimulai dari pagi hari dengan mengetam padi dan hasilnya diikat. Biasanya dengan ikatan khusus menggunakaan alat tersendiri yang terdiri dari 12 ikatan kecil dan 2 ikatan besar. Lalu diarak keliling kampung menuju sebuah rumah adat yang telah ditetapkan. Di rumah adat itulah pada malam hari digelar acara Mappa Dendang, semacam pertunjukan nyanyi dan tarian yang berirama dengan menggunakan lesung padi dan alat-alat pertanian lainnya yang dimainkan secara berkelompok.
Demikanlah, beras bagi orang Bugis selain bahan makanan mulia, juga benda terhormat, harta bernilai, dan komoditi pertanian yang sangat berharga. Beras Bugis memang berkualitas tinggi dengan warna putih, beraroma wangi pula. Beras Bugis laku dibarter dengan komoditi seperti cengkeh, pala. Bahkan nilainya setara dengan kain tekstil, sutra, dan keramik sekali pun.
Beras sudah menjadi simbol budaya Bugis, yang menghimpun, menyambung, mempererat hubungan silaturahmi para keluarga, kerabat, sahabat, dan seluruh masyarakatnya. Begitu pun dengan hubungan keselarasan dengan lingkungan alam semesta, serta hubungan vertikal dengan Allah Swt. Beras Bugis adalah sumber berkah yang mesti disyukuri dan dihormati.
Tak mengherankan Provinsi Sulawesi Selatan subur dan surplus beras, merupakan lumbung beras dengan kelebihan sekitar 2 juta ton beras per tahun, yang sanggup menyuplai kebutuhan beras provinsi di Indonesia Timur, dan sebagian Indonesia barat.
Salam.
Komentar
Posting Komentar