Seni Peran di Film Tjokroaminoto

(sumber: https://www.imdb.com/title/tt)

Pertama film sejarah. Kedua sutradaranya Garin Nugroho. Ketiga aktor utama Reza Rahardian. Saya menggemari ketiganya.
Garin bukan sekadar sutradara, dia sejatinya budayawan. Selain karya filmnya, saya selalu menunggu esai dan kolom Garin yang acap dimuat koran Kompas edisi Minggu.
Laki-laki asal Jogja ini sudah kita kenal bukan sutradara yang mau membuat film setiap tahunnya. Tak rela didikte oleh pasar industri perfilman. 
Salah satu karya besarnya yang dapat kita nikmati adalah film Guru Bangsa Tjokroaminoto (2015). Begitu selesai menonton selama 161 menit durasi, saya tak ragu mengatakan bahwa film Tjokroaminoto digarap dengan sangat baik.
Saya bertanya-tanya atau coba membayangkan bagaimana repot dan sulitnya membuat film tempo dulu yang menuntut menciptakan atmosfer kehidupan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.
Sedalam apa riset telah dikaji? Sebanyak apa pengumpulan referensi dan dokumentasi di masa negara kita belum berdaulat dan masih tunduk pada nama Hindia Belanda? Tapi sekali lagi, Garin adalah Garin, sineas jempolan yang punya standarnya sendiri.
Namun saya tak hendak menuliskan sinopsis film luar biasa ini. Barangkali lebih menarik untuk menulis dengan memberikan apresiasi tinggi pada sederet aktor dan aktris yang berperan mengisi film.
Catatan ini tentang dunia seni peran. Hampir tak ada yang berperan mengecewakan, bahkan musisi Maia Estianti pun bemain cukup baik sebagai mertua perempuan Tjokroaminoto. Maia berpasangan dengan Sujiwo Tedjo yang memainkan karakter Mangunkusomo. 
Akting Sudjiwo Tedjo sangat natural berperan sebagai priyayi Jawa yang keras memegang kehormatan keluarga bangsawan. Dialog-dialog Sudjiwo yang mengawali setengah jam film sangat hidup dan tak terduga dengan pilihan kata-katanya yang super medok, tapi menghibur.
Alex Komang, aktor kawakan, tak pernah disangka memberikan penampilan terakhir yang hebat di film biopik ini, sebelum ia meninggal dunia. Komang berperan dengan baik sebagai Hasan Ali Surati, pedagang keturunan India yang turut mempelopori berdirinya organisasi Sarekat Islam (SI) di Surabaya. 
Terus siapa yang kenal dengan Putri Ayudia sebelumnya? Tak ada barangkali, karena ini adalah debut Ayudia di dunia film. Tak tanggung-tanggung, Garin mempercayakan Ayudia memainkan karakter Soeharsikin, istri Tjokroaminoto. Ayudia yang berlatarbelakang pemain teater kemudian membuktikan kelasnya dengan tampil meyakinkan sebagai figur istri dan ibu konvensional jawa.
Tanpa bermaksud menyampingkan pengisi lain, dua bintang paling bersinar adalah Christin Hakim, dan tentu saja aktor utama Reza Rahadian. Christin Hakim menghidupkan karakter Mbok Tambeng. Aktingnya sangat prima dan semakin sempurna. Mata saya tak pernah berkedip setiap adegan yang melibatkan perempuan berdarah Minang ini. Meski sering minim dialog, Cristin menunjukkan kekuatan seni peran dengan mimik wajah dan gestur tubuh yang memikat. Rasanya belum ada aktris kita yang bisa menyamai karismanya bermain peran.
Dan jika kita menyebut nama Reza Rahardian, maka dialah meteor yang melesat paling tinggi dalam dunia perfilman Indonesia. Tak ada yang meragukan ketika Garin mendapuk Reza sebagai Tjokroaminoto-yang terpaut 105 tahun dari usianya.
Reza begitu total dan maksimal untuk peran utama ini, terpujilah dia. Reza dalam setiap film yang diperkuatnya tak pernah bermain jelek. Dia sudah membuktikan sebagai aktor watak serba bisa. Reza pernah bermain antagonis dalam film ‘Perempuan Berkalung Sorban’. Pernah pula berperan sebagai supir taksi alim yang gemar nonton film porno dan kemudian masturbasi.
Puncak akting Reza yang tak terlupakan penonton ketika berperan sebagai BJ Habibie. Bayangkan secara fisik, terutama wajah dan tinggi badan, Reza sangat berbeda dengan Habibie. Namun tantangan itu sukses dengan bahasa tubuh, cara berbicara, gaya berjalan. Pokoknya dia seperti masuk ke dalam tubuh Presiden ketiga Indonesia.
Tjokroaminoto adalah film yang lengkap: sutradara top, penggarapan yang serius, dan para pemeran yang tampil meyakinkan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja