Trial By Media: Persidangan Pembunuhan Acara Talkshow
Begitu menarik menyimak serial dokumenter Trial by Media yang mulai tayang pada 11 Mei 2020 silam di saluran Netflix.
Trial by Media meninjau kembali enam perkara hukum yang terkenal dan kontroversial dalam tiap episodenya yang berdurasi sekitar satu jam, di mana media memainkan peran besar membantu dalam proses menemukan keadilan, atau juga justru menjadi alat efektif untuk mengangkangi hukum.
Penonton kemudian akan membuat tafsian beragam setelah mendapatkan penjelasan yang utuh dan meyakinkan mengenai sejarah peliputan media Amerika Serikat dalam penanganan perkara hukum yang jauh lebih dalam sekaligus jauh lebih memusingkan karena kasus hukum menjadi berita sensasional yang laku dijual.
Episode pertama berjudul Talk Show Murder. Peristiwa pembunuhan paling membingungkan yang pernah terjadi. Pada 9 Maret 1995, Jonathan Schmitz, pemuda dari Michigan, menembak dan membunuh Scott Amedure, teman barunya, karena merasa dilecehkan dan dipermalukan saat syuting acara bincang-bincang Jenny Jones Show. Scott adalah gay yang secara gamblang menunjukkan perasaan cintanya pada Schmitz, laki-laki straight. Schmitz adalah bintang tamu yang tidak tahu ia dipuja oleh seorang homoseksual, ia mengira pemuja rahasianya adalah seorang perempuan.
Sebelum Jenny Jones Show episode Pemuja Rahasia itu tayang, terjadi hal yang menggemparkan dan tak terpikirkan. Dimulai Schmitz menerima pesan tersirat ajakan kencan dari Scott, yang membuat Schmitz tak lagi bisa mengendalikan emosi dan marahnya. Ia menarik uang di bank, membeli senapan, kemudian mendatangi kediaman Scott untuk melepaskan dua tembakan yang menewaskan laki-laki yang berprofesi tentara tersebut.
Peristiwa beradarah tersebut menggemparkan industri pertelevisian khususnya program talkshow yang booming pada saat itu, dengan format ‘penyergapan’ yang dirahasiakan para bintang tamu. Acara yang mencari orang yang harus dimanipulasi sehingga kita ditarget tak percaya apa yang akan kita dengar. Misalnya selain episode pemuja rahasia, ada episode pasangan yang bercinta semalam dan dipertemukan di acara tersebut, kemudian laki-laki tak tahu pasangannya hamil dan melahirkan. Studio heboh dan audiens menertawakan lelucon itu semacam hiburan yang dibutuhkan oleh seluruh penonton.
Senang atau tidak, tapi demikian faktanya. Setiap acara televisi selalu berurusan dengan rating. Semua dilakukan untuk mendongkrak rating, karena rating adalah uang. Di televisi kenyataan harus bisa diubah menjadi kisah menarik sedemikan rupa. Cerita biasa yang harus disenangkan dengan gimick-gimick. Hal-hal yang sebelumnya bersifat pribadi muncul di berita dan hiburan.
Apa yang menimpa Scott dan Schmitz merupakan kasus eksploitasi manusia dan menuntut tanggung jawab program Jenny Jones Show. Ada dua peradilan dari kasus pembunuhan Scott, yakni pengadilan pidana terhadap Schmitz dan pengadilan gugatan perdata terhadap Jenny Jones Show yang diajukan keluarga Scott.
Maka kemudian persidangan tak ubahnya sirkus yang dipertontonkan oleh media karena menarik, diminati banyak penonton televisi. Pengadilan berlanjut menjadi panggung televisi. Ruang sidang menjadi studio, memanfaatkan sensasional persidangan.
Frank Amedure, kakak Scott yang merupakan narator utama dalam episode ini, merasa murka mengetahui stasiun televisi yang menayangkan siaran langsung persidangan adalah jaringan Warner Bross, yang memproduksi Jenny Jones Show. Frank dan keluarganya semakin marah karena adiknya yang sudah mati, tidak berhenti dieksploitasi demi meraup uang oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Menurut Frank itu adalah percobaan menipu dan menyakiti banyak orang, karena mencari uang dari kejadian tragis. Sama sekali tak ada aspek kemanusiaan mencari uang. Akan jauh lebih adil jika stasiun televisi lain yang meliput proses hukum pembunuhan sang adik.
Demi memenuhi prinsip transparansi dan kontrol publik, ruang sidang tidak tertutup rapat dari apa yang terjadi di dunia. Namun sidang Schmitz benar-benar kelewat batas karena peliputan media yang jauh melenceng dari konteks perkara. Benar-benar hanya bagian dari cerita hiburan dari pengadilan, manipulasi media dari perspektif yang lebih luas, dimana liputan media ditempatkan pada sistem hukum.
Dari dokumentasi yang rapi Trial By Media, kita menjadi lebih paham ada begitu banyak hubungan media dengan sistem peradilan, bagaimana memahami naluri dan perilaku manusia di persidangan. Seperti digambarkan oleh Lawyer keluarga Scott, Geoffrey Fieger, bahwa beracara di ruang pengadilan adalah seni, layaknya melukis di kanvas dan kita bebas berimajinasi. Beracara di depan hakim adalah tentang persoalan meyakinkan keindahan kisah dalam kerumitan. “Lebih penting pertanyaanku daripada jawabannya.” Demikian penjelasan Fieger menceritakan kembali saat mencecar saksi-saksi kubu lawan.
Liputan demikian terjadi juga di banyak negara, termasuk Indonesia. Saya teringat dulu bagaimana rumitnya proses hukum Jessica Wongso, terdakwa pembunuhan di kedai kopi dengan racun sianida yang gemparkan publik. Siaran langsung sidang yang berjujuan mengedukasi masyarakat soal hukum justru menjadi infotainment yang bisa jadi memengaruhi vonis hakim.
Saat sidang menjadi cerita, orang-orang percaya ada sebuah akhir. Masalahnya dalam kehidupan nyata tak ada akhir seperti itu. Korban dan keluarganya akan tetap hidup dalam rasa sakit. Dan media tentu bertanggung jawab.
Selamat berkahir pekan.
Komentar
Posting Komentar