Hentikan Kejahatan, Bukan Kehidupan

(sumber: teinteresa.es.com)

Kemarin malam menjelang tidur, saya menonton kembali program Insight with Desi Anwar di Stasiun CNN. Episode kali ini mencoba mengungkap pro-kontra eksekusi hukuman mati yang belum mereda bahkan cenderung terus bergulir dari satu waktu ke waktu lain, dari satu negara ke negara yang lain.

Saya tertarik dengan judul yang dipilih: Hentikan Kejahatan, Bukan Kehidupan. Sampai menuliskan di blog ini, saya masih diliputi kegelisahan-sekaligus memaknai kehidupan setelah kelar menontonnya.

Saya sempat menduga wawancara Desi dengan tokoh narasumber ini serupa dengan diskusi-diskusi sebelumnya yang telah banyak tayang, terlebih pada saat momen eksekusi mati di pulau Nusakambangan.

Normalnya, untuk menggelar debat atau diskusi tentang pidana mati, narasumber yang diundang dari dua kelompok berseberangan. Antara kubu yang mendukung dan kelompok yang kontra. Tentu kedua kelompok tersebut biasanya berlatar belakang aktivis LSM, penegak hukum, akademisi, serta pemerintah dan parlemen. Hasilnya mereka terjebak debat kusir tanpa kesimpulan meyakinkan, dan tanpa ada makna yang bisa diraih.

Namun Desi Anwar bukanlah jurnalis sekadarnya. Desi mengantar kita mendapat perspektif baru dari setiap episode dan setiap tokoh narasumber. Saya tidak menduga untuk topik hukuman mati, sosok yang dihadirkan bernama Toshi Kazama.

Siapa dia? Sepanjang satu jam menyimak kisah Toshi,  kita akan terpukau dan seolah tak percaya apa yang telah ia lakukan untuk perubahan peradaban manusia.

Toshi adalah orang Jepang yang sejak usia 15 menetap di New York, Amerika Serikat. Pada mulanya ia berprofesi sebagai fotografer majalah gaya hidup, fashion, dan sejenisnya. Dia mengaku sukses menjalani karir fotografi dan ingin terus mengembangkannya.

Sampai pada satu momen pada 1996 yang mengubah jalan hidupnya hingga sekarang. Saat itu entah kenapa ia berambisi ingin memotret narapidana mati remaja berusia 16 tahun yang sedikit mengalami gangguan mental, untuk dijadikan obyek fotonya. Pikiran Toshi terkesan ambisius, bahwa mengambil foto sosok yang lagi heboh diceritakan karena kasusnya merebak, akan semakin membuatnya populer. 

Singkat cerita dengan berbagai kendala dia berhasil masuk ke penjara pengawasan maksimum, dan memotret sang terpidana tersebut. Namun bukan kebahagiaan yang ia rasakan, melainkan keguncangan batin. Mengapa orang yang dipotretnya itu hidupnya akan berakhir dengan cara yang tidak manusiawi? Menunggu eksekusi atas nama hukum dan keadilan. 

Peristiwa yang membuatnya terus meneliti di balik vonis mati dengan metodenya sendiri, yakni memotret, dan menemui pihak-pihak terkait eksekusi mati seperti pelaku, keluarga korban, hakim, petugas eksekusi, dan pemimpin negara. Apakah hukuman mati diperlukan untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pelaku?

(sumber: thestar.com)


Darah kita juga dibuat membeku mendengar bahwa salah satu terpidana mati, Sean Sellers, yang juga dipotret Toshi. Sean mengirim sepucuk surat pada Toshi, meminta Toshi menyaksikan eksekusi dirinya sebagai teman, yang berarti dia tidak punya banyak orang bisa dipercaya. 

Toshi membalas memberitahu bahwa dia tidak memiliki keberanian duduk melihatnya mati dieksekusi. Tapi Toshi berjanji akan duduk diam di rumahnya pada saat tepat Sean disuntik mati. Hati saya bersamamu, demikian Toshi membalas.

Telepati mereka hidup kuat, menembus ruang. Toshi duduk dengan sebuah jam untuk menunggu pukul 1 dini hari (waktu eksekusi Sean). Selama menunggu pukul 1 tiba, Toshi masih duduk santai. Tapi ketika jam berdentang menunjukkan pukul satu, Toshi merasa ada benda abstrak yang sangat asing menerjang tajam hatinya. Ia sangat terguncang, dan melewati beberapa hari dengan depresi.

Toshi pun berkisah bahwa dari sisi korban atau keluarga korban kejahatan--faktor paling utama mengapa hukuman mati masih diperlukan di banyak negara. Berdasarkan penelusuran, Toshi merasa aneh dengan persepsi bahwa jika keluarga korban telah menyaksikan narapidana dieksekusi mati, maka luka batin keluarga korban dapat tersembuhkan. 

Toshi sudah hampir 25 tahun menekuni metodenya, telah berbicara dengan banyak keluarga korban. Dan Toshi sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya cara untuk keluarga korban pulih adalah dengan cinta dan kasih sayang. Jika keluarga korban ingin melanjutkan hidup, harus melepaskan diri dari kebencian dan kemarahan terhadap kejahatan. 

Kehidupan Toshi kini banyak mengisi undangan dari seluruh dunia untuk menggelar pameran foto sembari membawa pesan dan makna dari apa yang telah ia kerjakan sejak 1996:  Hentikan Kejahatan, Bukan Kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja