Pengalaman Manis di Ubud Writers & Readers Festival

(dok. pri)

Sebagai ajang perdana saya, wajar saja ada hal yang merisaukan karena belum mengenal 'medan' sama sekali. Namun kegelisahan lenyap seketika saat saya membaur dengan ratusan peserta, didominasi warga negara asing, yang hadir di sesi pertama pada hari pembukaan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2019 di Museum Neka, Ubud, Bali, pada Kamis pagi, 24 Oktober 2019.
Atmosfer festival sungguh berbeda, begitu hidup dan hangat satu sama lain. Tak ada sekat, tak ada jarak sosial di venue-venue festival. Setiap orang datang berhak berekspresi tanpa takut terintimidasi dan stigma macam-macam. 
Pantas kiranya menilai UWRF bukan hanya tempat bagi penulis dan para speaker pemikir besar untuk bersinar, namun juga tempat bagi para pembaca untuk bisa mendapatkan sorotan yang sama. Pembaca diberi tempat yang spesial, bahkan ada kata 'readers' di nama Festival ini. 
UWRF adalah sebuah ruang pertemuan, bukan hanya pertemuan antar manusia, tapi juga pertemuan antar bidang di mana sastra, seni, desain, dan pertunjukan lainnya dapat dinikmati dalam satu ruang. Diskusi-diskusi langsung dengan para penulis, pembuat karya, jadi kita merasa dekat, merasa begitu terinspirasi, dan merasa terdorong untuk bersikap positif.
Yang selalu dicari dan dinantikan oleh para pembaca buku, pencinta sastra dan seni di UWRF adalah momen-momen saat interaksi antara pembaca dan penulis dapat terjalin. Momen-momen tersebut dapat terjadi di setiap sesi UWRF dan festival ini adalah satu-satunya yang dapat memberikan momen personal tersebut, begitu intim.
Saya gembira sekali dapat berinteraksi dan berfoto bersama sutradara Garin Nugroho; menyantap nasi goreng racikan chef Bara Patarijawane sebelum film screening, Aruna dan lidahnya; mendapatkan tanda tangan, dan pesan salam hangat dari dua penyair perempuan idola saya, yakni Leila S Chudori dan Laksmi Pamunjtak, di buku masterpiece keduanya, merupakan sepenggal pengalaman manis di Ubud yang tak terlupakan. Meski novel Pulang karya Leila dan Amba karya Laksmi, yang saya koleksi sudah cukup tua dan usang, lembarannya mulai menguning, karena cetakan perdana pada 2012, buku-buku itu menjadi "artefak' saya yang bernilai historis dan emosional.
(dok. pri)

Sebagaimana penyelenggaraan sebelumnya, UWRF 2019 berisikan debat, pementasan, dan diskusi mendalam membongkar isu-isu global yang sedang hangat, dan akan menantang kita untuk kembali mempertimbangkan sebuah tanggung jawab yang kita bagi ke satu sama lainnya, ke planet bumi, dan generasi selanjutnya. 
Banyak pihak salut terhadap konsitensi UWRF sebagai salah satu festival sastra terbesar di dunia, sehingga merupakan panggung untuk para pemikir besar membawa suara-suara berani mereka ke hadapan dunia.
Pada satu momen ketika menonton testimoni Laksmi Pamuntjak di website resmi UWRF 2019, rasanya sulit membantah, bahwa ada kehausan atas pertukaran ide, dan hal-hal tersebut kurang terakomodir sekarang. 
Apalagi Indonesia sekarang semakin tidak toleran, menurut Laksmi, yang selalu cemas bahwa kalau tidak ada institusi, komunitas, yang membuat kesempatan bertukar pendapat dan berbagi ide, maka kering sekali kehidupan kita ini. Karena itulah UWRF sangat penting dalam konteks ini. Sekali lagi, saya sepakat, Laksmi benar.
Jadi UWRF 2019 juga sebagai peluang besar sebagai ajang Indonesia untuk mempromosikan dan membuka diri ke masyarakat internasional. Contohnya, beberapa panel diskusi mengangkat aspek-aspek sosial budaya Indonesia yang ternyata bagi para audiens dari warga asing dapat meluruskan beberapa pemahaman negatif mereka terkait Indonesia, pemahaman Islam, dan sistem pemerintahan, misalnya.
UWRF 2019 merupakan lima hari perayaan untuk para individu kreatif, acara yang dapat mengubah perspektif dalam melihat dan menyikapi kehidupan. 
Dikelilingi hijaunya pepohonan dan di bawah langit malam bertabur bintang, bergabung dengan ribuan pencinta seni dan sastra dari seluruh dunia untuk untuk berbagi kisah, pengalaman, dan inspirasi, UWRF ke-16 berakhir pada Minggu 27 Oktober 2019.
Sampai jumpa pada UWRF 2020.
(dok. pri)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja