Memories of My Body: Tubuh Penari Lengger Versi Garin

(dok. pri)

Pengalaman baru yang benar-benar menyenangkan. Saya bergabung dengan ratusan orang termasuk para turis asing nobar film screeningMemories of My Body di Taman Baca, Ubud. Sensasinya dahsyat menonton film, langsung bersama Director Garin Nugroho, pada ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) Oktober 2019.

Memories of My Body, atau versi originalnya berjudul Kucumbu Tubuh Indahku merupakan film terbaik pilihan majalah Tempo pada 2018 dan terkonfirmasi pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2019. Selain berjaya di dalam negeri, karya paling gres Garin ini juga mewakili Indonesia pada ajang Academy Award 2020.

Memories of My Body lantas menjadi diskusi menarik di masyarakat. Garin, laki-laki 58 tahun asal Jogja ini sudah dikenal sebagai sutradara yang kerap menghadirkan film dengan tema-tema variatif, mengangkat dan merefleksikan seni dan tradisi masyarakat kita yang terserak. Saya termasuk penikmat dan sering menanti karya-karyanya.

***

Memories of My Body berkisah tentang perjalanan hidup penari lengger bernama Wahyu Juno, dari sebuah desa kecil di Banyumas, Jawa tengah, yang sudah lama dikenal sebagai desa penari lengger lanang, jenis tarian perempuan yang dibawakan penari laki-laki, sehingga seorang penari lengger harus dapat menampilkan sisi maskulin dan feminim dalam satu tubuh untuk membentuk gerakan indah.

Kisah Juno dalam film diceritakan dalam tiga masa, yaitu Juno kecil-Juno remaja-dan Juno dewasa, dalam rentang waktu mulai akhir 1960-an hingga awal dekade 1990-an. Ceritanya tidak umum dan bukan hal mudah diterjemahkan ke dalam visual film.

Drama sudah terbentuk dari awal. Film dibuka dengan perkenalan sosok Juno sejak kecil, oleh Juno Dewasa, menghadap kamera seperti sedang diwawancara. Logat Banyumas yang kental, mimik wajah serius namun juga menggelitik dan dilengkapi dengan tarian tubuh yang juga bercerita.

Juno kecil harus hidup sendiri, Juno tak pernah melihat ibunya, dan ayahnya kabur entah ke mana karena menurut cerita yang dia dengar sang ayah dituduh terlibat peristiwa 1965. Jadilah Juno kecil dibesarkan oleh tetangga baik hati, dan kemudian oleh si-Bibi (diperankan dengan baik oleh Endah Laras).

Juno Bocah hidup dalam kesepian, menghadapi penolakan sini-sana, kerap diolok-olok sebaya, dan mendapatkan diskriminasi di kampung. Satu potensi yang membuatnya bertahan hidup: Juno dinilai dapat menari lengger untuk menjaga tradisi kampung, dan dia pun diminta bergabung dengan sanggar tari lengger, pimpinan guru, yang diperankan begitu apik oleh Sudjiwo Tedjo.

Pada awal di sanggar, Juno banyak mengalami peristiwa-peristiwa yang luar biasa aneh, ganjil, dan mungkin mistis, di luar nalar manusia normal menjalani kehidupan.

Ada adegan istri guru Sujiwo diperintah untuk memperlihatkan alat kelamin pada Juno. Lalu guru tari desa perempuan menantang 'kelaki-lakian Juno'. Paling membekas saat Juno kecil menyaksikan Sujiwo Tejo merajam alat vital pacar istrinya hingga darah dari laki-laki hidung belang itu menyembur-nyembur. Juno kecil menyaksikan serta mengalami kepahitan hidup yang dibawa sepanjang hayatnya.

Setelah peristiwa traumatis di depan wajahnya, Juno lantas hidup mengembara, berpindah-pindah tempat, namun tetap sebagai penari lengger. Dia gemulai menggerakkan matanya, jari-jarinya, kakinya, membentuk gerakan-gerakan tarian indah yang bisa memukau siapa saja, laki-laki ataupun perempuan.

Dia tumbuh berpindah-pindah. Bersama paman penjahit hingga wafat, di mana paman tersebut membuatkan baju calon pengantin seorang petinju kampung (diperankan Randi Pangalila), yang ternyata biseksual, bersamanya. Ada pula warok reog kesemsem dan juga Bupati yang berkampanye terpikat keindahan tarian tubuh Juno, yang semakin dewasa, gerakan tarinya semakin memikat.

****

(dok. pri)

Pada saat film ini diputar di gedung bioskop sekitar April 2019 lalu, muncul gerakan penolakan dan pemboikotan oleh beberapa kelompok mayarakat dan (pemerintah) di beberapa kota, seperti di Padang dan Pontianak. Alasannya film ini dapat merusak moral anak muda karena mengangkat dan memberi ruang dunia Lesbi Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).

Terlepas isu sensitif tersebut, harus kita apresiasi film ini berkualitas dari segala sisi.

Temanya aneh, unik, dan luar biasa. Inspirasi muncul dari kisah nyata penari lengger bernama Rianto, dan kemudian memerlukan waktu tiga tahun untuk meriset. 

"Tentang tubuh dan trauma seorang manusia, tubuh kita ini menyimpan ingatan. Rangkaian ingatan tersebut menjadi sebuah sejarah manusia, dan trauma-traumanya tersendiri yang bukan hanya personal, tapi juga merupakan representasi sosial, multi tafsir", ujar Garin, menjelaskan filosofi film, di Taman Baca Ubud, setelah kelar nobar Film Screening-UWRF Oktober silam.

Memories of My Body adalah film yang lengkap dan diproduksi dengan baik. Penyutradaraan kuat, skenario yang matang, dan disempurnakan akting seni peran para pemain yang memikat. Itulah khas Garin, memperhatikan betul kaidah sinema.

Seperti temanya, penggarapan film bukan formula biasa. Garin menceritakan kompleksitas hati manusia dengan cara sederhana dan menyentuh, dan juga mencengangkan hasrat penonton. Menciptakan adegan-adegan membius, magis, puitis, dan metafora kuat. 

Pemilihan latar belakang adegan di rumah pedesaan, peternakan, pasar, dan rumah dinas bupati, juga sangat simbolis membangun suasana kelam, untuk mendalami karakter Juno.

Garin, sekali lagi, memberikan kita kebebasan pandangan terhadap sebuah realitas, barangkali berbeda-beda yang kemudian saling melengkapi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja