Keluarga, Budaya Malu, dan Korupsi

(dok. pri)

Mahasiswa di kelas saya sering mengajukan pertanyaan : Kapan negara Indonesia bisa bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) ?  Bagi saya jawabannya mungkin sama sulitnya dengan pertanyaan penggemar bola: Kapan waktunya Tim Nasional sepak bola Indonesia bertanding di Piala Dunia ?
Saya meyakini dua impian besar kita tersebut baru bisa terwujud ketika kita semua manusia Indonesia sekarang ini (lama), telah tergantikan oleh generasi selanjutnya (baru). Itu pun dengan syarat kita serius berbenah. Dari sekarang atau kita terus jalan di tempat, bahkan semakin tertinggal.
Saya tak ingin berbicara sepak bola di sini. Saya hanya hendak menumpahkan kekecewaan, sama halnya masyarakat Indonesia kebanyakan, sudah jenuh dan prihatin menghadapi kenyataan para pejabat negara kita yang seharusnya menjadi teladan bersikap anti korupsi, justru bergiliran ditangkap KPK karena menerima uang korupsi. Tapi kecewa dan prihatin pastilah tidak berarti apa-apa.
Kita harus berangkat dari pemahaman yang sama, bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang merusak struktur sosial, ekonomi, dan politik.
Korupsi adalah penyebab utama kemiskinan, sumber ketidakadilan, dan menciptakan kesenjangan sosial yang menghilangkan kesempatan setara. Data tidak bisa dibantah dari laporan Bank Dunia’s Rising Divide tahun 2018, bahwa 1 % orang Indonesia (sekitar 2,5 juta orang dari total 250 juta penduduk) telah menguasai hampir 50 % lebih kekayaan negara Indonesia.
Untuk mencegah persentase lebih gawat, dengan kata lain untuk memberantas penyebab utamanya (korupsi), terlalu naif rasanya, dan fakta selama ini juga sudah membuktikan bahwa mengharapkan negara kita bebas korupsi dengan berharap penuh semata-mata pada penegakan hukum yang adil dan komitmen pemerintah,  tidak (belum) banyak mengubah keadaan. Paling efektif dan rasional mulai dari diri sendiri dan dari lingkungan terkecil.
Keluarga dan Budaya Malu
Katakanlah mustahil generasi kita bisa hidup tanpa korupsi yang sepertinya sudah mengakar kuat, maka biarkanlah yang menikmati nanti Indonesia bebas korupsi adalah generasi kita selanjutnya (anak-cucu kita). Oleh karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dengan menjadikan keluarga sebagai benteng utama. Ada ungkapan bijak segala kebaikan dan keburukan berasal dari rumah. Rumah bukan dari bentuk fisik, tetapi tempat pembelajaran dan tempat bersemainya nilai moral luhur.
Keluarga merupakan tempat untuk menumbuhkan sikap anti korupsi. Di keluarga ditentukan tiga hal. Integritas orangtua, keteladanan orangtua, dan keteladanan kepemimpinan. Nilai utama yang diharapkan adalah kejujuran, hidup bersih, hemat dan sederhana. Saya kira kita semua punya metode sendiri bagaimana menerjemahkan nilai-nilai utama itu pada anak-anak kita masing-masing.
Dan yang tak kalah penting adalah (orangtua dan anak) teguh dan terus dicontohi memegang prinsip budaya malu. Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori, tapi harus terus dicontohkan sebagai kompetensi hidup. Beberapa kajian ilmiah telah menyimpulkan bahwa dari tiga unsur daya manusia (Cipta, Rasa, Karsa), orang Indonesia lemah dalam aspek rasa, kurang empati. Kalaupun dalam beberapa hal ‘merasakan’ emosi kuat, biasanya cenderung negatif.
Saya ingin menjelaskan bahwa budaya malu kita soal korupsi adalah aspek emosional. Bagi para koruptor di negara kita hal yang memalukan bukan perbuatan korupsinya, tapi apakah ia masih diterima lingkungan sosialnya. Pokoknya banyak uang, kaya akan mendapat tempat istimewa. Budaya malu yang salah ini yang menciptakan para loyalis koruptor. Contohnya begitu banyak, koruptor-koruptor yang sudah menjalani hukuman ringan tetap mendapat perlakuan istimewa di ruang publik, bahkan bisa menduduki jabatan-jabatan penting. Sederhananya mengkorup uang negara bukan aib.
Di Eropa, terutama kawasan Skandanavia (juga berlaku di Jepang) rasa malu terkait dengan sesuatu yang normatif. Tentang benar-salah, baik-buruk. Sementara di Indonesia rasa malu dinilai atas relasi sosial.
Sekali lagi, dari unit sosiologi terkecil bernama keluarga, kita harus berbuat sesuatu, meskipun kecil, selama bertujuan untuk memperbaiki diri dan mengubah keadaan lebih baik, tidak akan sia-sia, meski pun bukan kita sendiri yang nanti menikmati hasilnya. 
Semoga sukses.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja