Review Burung-Burung Cakrawala
Sebenarnya buku ini versi lengkap dari esai Mochtar Pabotinggi berjudul Dari Rumah Karakter, Dari Buku Cakrawala, yang dimuat di buku Bukuku Kakiku, pada 2004, hasil kompilasi puluhan intelektual Indonesia yang bercerita pengalaman masing-masing bergelut dengan benda berwujud buku.
Berangkat dari membaca esai (buku) itu lebih satu dasawarsa lalu, menjadi motivasi kuat saya untuk melahap buku setebal hampir 400 halaman terbitan PT Gramedia Pustaka Utama ini.
Buku Burung-Burung Cakrawala judulnya, terbit pada 2015, merupakan sebuah novel otobiografi yang jauh dari fiksi konflik, sebagaimana kekuatan novel bertumpu. Namun penuh dengan kisah-kisah menarik yang menginspirasi dari perjalanan hidup anak manusia bernama Mochtar Pabotinggi, seorang peneliti, intelektual, budayawan, sekaligus penulis novel luar biasa.
Entah kenapa, Mochtar Pabotinggi, sangat menggemari metafora burung dan cakrawala, sehingga sampul buku novelnya pun berlatar emas dengan menggambarkan enam kawanan burung yang melayang di waktu matahari terbenam di laut biru, di ujung cakrawala.
Pustaka yang terdiri dari delapan bab, berurut dari awal kemerdekaan. Menapak tilas hidup Mochtar dengan narasi yang sangat jujur dan otentik. Tentu saja kisah dimulai dari sebuah rumah panggung di Bulukumba Sulawesi Selatan hingga di pantai Honolulu di Amerika Serikat.
Perjalanan berfokus pada lima kota yang membentuk karakter dan jiwa intelektual Mochtar pada tiga zaman: Bulukumba, Makassar, Yogyakarta, Jakarta, dan kampus Massachusetts, AS.
Pembaca seperti diajak untuk jauh menjelajah belantara ruang dan waktu yang menjadikan pelajaran hidup yang kaya penuh makna.
Di Bulukumba, bagi Mochtar adalah puisi, barangkali mendeskripsikan betapa kampung bahari itu sangat subur, dialiri sungai jernih, dan dikukuhi gunung menjulang. Lalu ketika masuk kota Makassar, sebuah alternasi ritmis dari prosa dan puisi. Di Makassar pada awal dekade 1960-an, penulis menjabarkan ceritanya sebagai mahasiswa Unhas yang membawanya ke berbagai bacaan legenda pada zaman itu. Kembang Api Cakrawala di Makassar, begitu metafora Mochtar, yang sangat bergairah memasuki dunia akademis.
Klimaks dunia inteletual Mochtar terbentuk ketika hijrah ke Jogja dan kuliah di jurusan Sastra Inggris, UGM Yogyakarta. Pada masa itu adalah fase saat sastra dan budaya berada di titik puncak dengan generasi emas Indonesia berkarya. Mochtar merasa beruntung sering berdiskusi banyak ilmuwan, seniman, dan budayawan.
Sekadar menyebut nama Umbu Landi Paranggi, Ketua Muhammadiyah Kiai Haji A.R Fachruddin, Peter Dick pemimpin Majalah Basis, pelukis Affandi, penyair “burung merak” W.S . Rendra, cerpenis ulung Umar Kayam, Nurcholis Madjid sang pembaru pemikiran Islam, Gunawan Muhammad, sastrawan-sejarawan Kuntowijoyo, legenda Sartono Kartodirdjo, dan masih banyak lagi.
Jakarta kemudian Honolulu, AS, merupakan babak baru menetap di ibukota negara, kota kosmopolitan yang giat-giatnya membangun. Di Jakarta penulis lebih banyak mencari nafkah kemudian melanglang buana ke negara Amerika Serikat hasil mendapatkan beasiswa kuliah di Massachusetts, AS.
Di negara yang memuja kehidupan hedonis, penulis hanyut dalam lautan buku di perpustakaan kampus yang megah. Bagian ini adalah pertautan moral, etika, dan tentu saja buah sukses dari belajar, kerja keras, dan kejujuran.
Apa saja yang dipaparkan penulis membuat hati kita melompat-lompat dalam satu emosi ke emosi yang lain. Kadang kita tersenyum, lalu ikut tertawa, kemudian kita juga dibawa menaruh simpati, merenung dan pada akhirnya mendapatkan hikmah bahwa kebahagiaan terbesar dalam hidup bergantung dari rasa syukur.
Salam.
Komentar
Posting Komentar