Selalu Ada Alasan untuk Pulang

(dok pri)

Selalu ada alasan orang untuk pulang.

Indonesia adalah negara yang selalu kita sebut dengan TANAH AIR. Dari terminologi Tanah dan Air, mungkin hanya Indonesia, atau segelintir saja, negara yang menyebut dengan bangga sinonim kata yang menyiratkan rasa nasionalisme itu.

Novel Pulang, karya hebat Leila S Chudori, pastilah ingin mengekspresikan betapa Indonesia pada satu masa panjang yang kelam, berada di titik nol secara moral, etika, dan kejiwaan. Dikuasai rezim tiran dan kroninya, namun tetap menjadi negara tercinta yang selalu membuat orang-orang yang telahir di bawah langit dan di atas tanahnya, selalu merasakan rindu dan ingin pulang.

Memoar ciptaan Leila, adalah bagaimana usaha perjuangan untuk merawat ingatan dan melawan lupa atas sejarah politik paling gelap yang pernah melanda Indonesia. Hingga enam presiden berganti, tak ada pengakuan dari pemerintah untuk menyesali tragedi berdarah tersebut, apalagi permohonan maaf dan upaya merangkul keluarga korban eks tahanan politik (tapol) yang puluhan tahun dipaksa “melupakan” penderitaan. 

Betapa kejamnya ketika manusia yang belum tentu bersalah (hanya karena berbeda pandangan politik) harus dilibas dengan darah militer. Lebih biadab lagi buat keluarga dan orang-orang yang punya hubungan dengan tapol tersebut (yang sudah pasti tidak bersalah), harus pula menanggung derita sepanjang hidup.

Leila menyelesaikan buku ini dengan riset tajam selama enam tahun (2006-2012), ia berkunjung langsung ke kota Paris, di sela kesibukannya sebagai jurnalis majalah Tempo. Buku sastra yang tidak perlu memuat kata pengantar dan pujian dari orang-orang hebat sebagai siasat promosi di sampulnya. 

Berkisah tentang percintaan, persahabatan, kesetiaan, kerinduan, penyangkalan, dan penghianatan, pada tiga masa sebagai benang merahnya: Gerakan 30 September 1965 di Indonesia, Gerakan Mahasiswa di Perancis tahun 1968, dan Reformasi berdarah 1998 di Indonesia yang meruntuhkan kekuasaan panjang Presiden Soeharto.

Menghadirkan sosok utama Dimas Suryo, eksil politik berprofesi jurnalis, atau tepatnya mantan wartawan Kantor Berita Nusantara (KBN), terpaksa menjalani garis hidup yang aneh dengan konflik batin yang berkepanjangan dengan: pemerintah negaranya, dengan istri, anak, dan menantunya; dengan sahabatnya, juga dengan mantan pacarnya.

Leila dengan terampil mengalurkan kisah dengan lincah, melompat-lompat dari waktu yang tidak linear. Dari satu kisah ke kisah yang lain. Dari satu karakter tokoh ke tokoh lain. Menggiring pembaca menapak tilas sejarah Indonesia di rezim otoriter dan sedikit tentang kehidupan di negara Perancis yang gemerlap.

Sosok Dimas Suryo (dan karakter lainnya), sebenarnya gambaran realita banyak manusia Indonesia hingga zaman sekarang. Manusia-manusia yang mungkin sudah apatis terhadap orang-orang yang berkuasa absolut di Indonesia, tapi tak akan pernah berhenti mencintai Indonesia dengan segala isi yang terkandung. Hidup di sebuah negara yang elok, indah, dan modern seperti Perancis tidak membuatnya jatuh cinta kepada negara romantis tersebut.

Dimas selalu teringat keluarganya di Solo, mantan pacarnya di Jakarta, selalu mendambakan hangatnya tropis Indonesia, merindukan rasa lezat komoditas yang tumbuh di Indonesia seperti kunyit, kopi, lada, cengkih, yang mengundang selera dan hobi memasaknya. 

Segala yang beraroma Indonesia senantiasa menghantuinya untuk pulang, paling tidak bila nanti dia mati, jasadnya harus ditanam di tanah terjanji Indonesia, pekuburan Karet, tanah di mana penyair Chairil Anwar juga dikubur. Bukan di tanah Perancis yang mengilap bermandikan cahaya.

Pulang yang bertebal 464+viii halaman ini penuh dengan bahasa dan kosa kata yang original, kuat, menyentuh, liar banal, romantis, lucu menggelitik dengan humor cerdas. Khas sekali dengan pilihan ungkapan, dan bahasa-bahasa yang selalu digunakan Leila ketika mengisi desk sastra dan mereview film di majalah Tempo.

Membaca Pulang memberikan banyak pengetahuan baru dan kebenaran tersingkap yang belum pernah diungkap dan dituntaskan hingga kini. 

Salam Reformasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja