Dortmund Juara Eropa di Munich 1997
Namun saya lebih suka pada Borrusia Dortmund ketimbang Bayern. Bahkan jika ada klub selain Bayern yang berhasil tampil sebagai kampione Bundesliga, saya ikut merayakan. Selain Dortmund ada beberapa klub yang saya ingat pernah ‘mengganggu’ tahta FC Hollywood, yakni VFB Stuttgart, Kaisarlautern, Werder Bremen, dan Wolsfbrug.
Kesempatan kali ini saya tertarik ingin mengangkat satu momen paling bersejarah bagi klub Ballspielverein Borussia 09 EV Dortmund, yang dikenal sebagai Borussia Dortmund, klub dari lembah Ruhr, negara bagian Nordrhein-Westfalen Jerman.
Hari ini tepat 23 tahun yang lalu, pada 28 Mei 1997, Juventus bertemu Borrusia Dortmund pada final Liga Champions yang digelar di Stadion Olympia, Munich. Stadion historis venue final Piala Dunia 1974.
Normalnya stadion itu adalah lautan merah, karena merupakan kandang Bayern. Tapi sore-malam final itu warna merah kebanggaan Bayern diokupasi baju dan bendera berkelir kuning-hitam, warna keramat Dortmund.
Dortmund mencapai final Eropa untuk pertama kalinya dan menantang Juventus, tim paling gemilang di pertengahan 1990-an. Juara bertahan Liga Champions, memenangkan Serie-A ke-24, mengikuti dua trofi pada tahun yang sama: Piala Super UEFA dan Piala Intercontinental.
Skuad Juventus bermaterikan para maestro, Zinedine Zidane, Alessandro Del Piero, dan Didier Deschamps. Pelatihnya adalah ahli taktik Marcelo Lippi yang sudah setara dengan Arrigo Sacci dan Fabio Capello.
Juventus datang ke Jerman dengan kepercayaan diri tinggi, bahkan cenderung pongah. Lippi di konfrensi pers sehari sebelum kick-off menyatakan jauh lebih sulit memenangkan scudetto daripada juara Liga Champions. Meski terdengar arogan, media dan pakar bola tak ada yang membantah. Bahkan media dan publik Jerman pun sepakat, belum waktunya klub Jerman merusak hegemoni klub Italia saat itu.
Borrusia Dortmund, harus diakui tak bisa disandingkan dengan Si Nyonya Besar, diukur dari faktor apa saja. Sejarah, materi pemain, dan pencapaian aktual, tak ada yang memihak tim kuning-hitam ini.
Dalam formasi musim 1996-97 itu ada lima pemain Borussia yang berasal dari barisan eks Juventus: gelandang Paulo Sousa dan Andy Moeller, pemain bertahan Jurgen Kohler, Julio Cesar, dan Stefan Reuter. Mereka berkompatriot dengan pemain senior lain, Mattias Sammer dan Karl Heinz Rieddle.
Meski bertanding di tanah Jerman, anak asuh Ottmar Hitzfield tersebut disepelekan. Laga final paling jomplang yang pernah saya ketahui. Hanya segelintir yang memprediksi Juventus bakal kalah. Saya termasuk minoritas itu, sangat subyektif—penggemar sepak bola memang selalu begitu.
Final yang meriah tersebut Juventus tampil dengan kostum biru, kontras dengan black-yellow Dortmund. Wasit yang memimpin adalah Sandor Puhl dari Hungaria, wasit terbaik UEFA yang juga mengadili Italia vs Brasil di final Piala Dunia 1994.
Dortmund ternyata tak silau dengan nama besar La Vechia Signora. Pemain senior seperti Sammer dan Moeller menegaskan bahwa untuk memenangkan pertandingan final, perlu persiapan matang, fokus pada hal detail, dan menumbuhkan mental kuat kepada seluruh pemain.
Juventus memang mendominasi laga, tapi pada menit ke-29 melaui tendangan sudut Moeller, terjadi kemelut di kerumunan pemain di area gawang Angelo Peruzzi. Bola menemui Riedle yang mengontrol sebelum melepaskan tembakan keras menembus gawang, 1-0. Riedle berlari antara gembira dan tidak percaya, ke arah bendera sudut, sebelum tenggelam oleh pelukan rekan satu timnya.
Alih-alih sengatan yang membangkitkan motivasi Bianconeri, gol itu adalah pukulan yang telak. Hanya lima menit berlalu, Riedle menggandakan keunggulan, juga bermula dari sepak pojok Moeller. Juventus-Borussia Dortmund 0-2.
Dalam lima menit saja tim juara Italia, Eropa, dan Dunia, berada pada posisi yang sangat sulit. Tertampang sudah kegelisahan Lippi di tepi lapangan. Tapi, Bianconeri, bagaimanapun tidak menyerah karena tim ini bisa mencetak gol kapan saja. Peluang mendekati skor terjadi pada menit ke-42 saat sepakan Zidane menerpa tiang bawah gawang kiper Stefan Klos.
Pada babak kedua, Alesandro Del Piero yang masuk lapangan pada akhirnya, pada upaya kesekian kali, berhasil mencetak skor pada menit ke-64 yang membuat peluang mereka kembali terbuka. Il Pinturicchio, julukan Del Piero, membuat gol cantik dengan tumit yang mengecoh bek dan kiper Dortmund.
Juventus mendapat momentum terbaik melewati masa sulit. Semuanya bergembira menanti waktu yang tersedia bagi Deschamps dan kawan-kawan membalikkan situasi.
Tetapi malam itu, beberapa menit setelah gol Del Piero, pemain cadangan Dortmund bersiap, namanya Lars Ricken, anak muda 21 tahun. Ricken hanya butuh 16 detik sejak dia memasuki lapangan, menciptakan gol mematikan, dari sentuhan pertamanya, menjadikannya pemain tercepat yang mencetak gol di final Eropa.
Takdir memilih Lars Ricken sebagai penghancur impian Juventus. Golnya sangat indah. Dirancang dari serangan balik, Moeller lagi-lagi melepaskan umpan jauh ajaib dari area lapangan sendiri mengincar Ricken yang berlari tak terkawal. Tanpa kontrol, Ricken melepaskan tendangan lob dari jarak 30 meter. Bola itu melintas naik ke udara dan kemudian tiba-tiba jatuh di bawah mistar gawang. Peruzzi benar-benar terkejut, dan hanya mengangkat kepalanya untuk melihat bola bersarang ke jaring.
Gol ketiga yang sensasional menghancurkan kebangkitan Juventus. Pertandingan praktis berakhir di sana. Juventus seperti baterai mati malam itu, segalanya berjalan buruk, menjalani pertandingan senahas demikian.
Statistik permainan tidak berarti, Juventus memiliki penguasaan bola yang jauh lebih tinggi dan menembak lebih banyak ke gawang, dua diantara tembakan menghantam tiang dan mistar gawang.
Kemenangan sejarah bernilai ganda bagi Dortmund dan fans, mereka membungkam raksasa Italia, Juventus, dan tak kalah penting mereka juara Piala Eropa di markas Bayern Munchen, rival dan tim paling sukses di Bundesliga. Mereka menetapkan malam final Liga Champions di Munich sebagai Dortmund’s Day.
****
Sementara di belahan dunia yang jauh dari Munich, beberapa jam setelah euforia menyaksikan Sammer cs mengangkat trofi silver berkuping besar, saya menjalani ujian semester SMA pada pagi hari.
Saya juga masih ingat hari itu, pada Kamis, 29 Mei 1997, bangsa Indonesia menggelar Pemilu. Hajatan politik terakhir di zaman Orde Baru, yang hanya diikuti 3 partai politik. Dan pemenangnya adalah Golkar dengan raihan suara hampir 75 persen. Hehe.
Salam Bola.
Komentar
Posting Komentar