Final Istanbul 2020 yang Dirindukan
Jika semuanya berjalan normal tanpa pandemi korona, seharusnya hari ini, malam nanti, kita akan menyaksikan final Liga Champions 2020 di Stadion Kemal Ataturk, Istanbul Turki.
Istanbul, sebuah kota metropolitan bergaya klasik yang telah banyak menulis sejarah, sungguh satu tempat indah bernostalgia memainkan pertandingan terbesar sepak bola tahun ini.
Menghubungkan kota Istanbul dengan sepak bola sudah tentu kita akan mengingat satu laga indah yang telah tercatat dalam sejarah sepak bola, final Liga Champions 2005, yang merupakan edisi ke-50, mempertemukan AC Milan dengan Liverpool.
Disebut-sebut sebagai salah satu final Liga Champions terbaik, bahkan saya termasuk yang menganggap Istanbul 2005 lebih dramatis dibandingkan dengan final Barcelona 1999 antara Manchester United vs Bayern Munchen.
Kemenangan menakjubkan Liverpool melalui adu penalti atas AC Milan setelah tertinggal 3-0 di babak pertama, sangat sulit dipercaya. Semua penggemar bola masih mengingat momen tersebut sebagai Miracle of Istanbul. Bersamaan dengan itu, tidak sedikit fans sepak bola sudah lupa final Athena 2007, saat Milan berhasil membalas kekalahan.
Begitulah, satu pertandingan yang menciptakan laga dramatis akan tertancap kuat dalam memori. Saya masih mengingat dengan jelas laga itu memengaruhi banyak aktivitas saya, mulai antusias menjelang laga, tegang menonton jalannya duel, dan momen-momen setelah pertandingan usai.
Sudah lima belas tahun pengalaman seru itu, tapi baru kali ini saya menuangkannya dalam bentuk cerita nostalgia. Seperti ditulis Bre Redana, bahwa umur manusia itu pendek, hanya kenangan yang memperpanjang.
****
Pada malam final itu, Rabu 25 Mei 2005, lebih tepatnya sudah berganti pada Kamis dini hari, bersama teman, saya berangkat menuju Hotel Sheraton Mustika, yang berlokasi di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Yogyakarta.
Di sana, di taman dan lounge hotel bintang tersebut, stasiun RCTI menggelar nonton bareng. Bukan nobar biasa yang sebelumnya pernah saya ikuti, tapi lokasi nobar kami akan jadi pusat perhatian penggemar bola seluruh Indonesia, karena RCTI memindahkan siaran dari studionya di Jakarta, dan memboyong semua kru dan alat perlengkapan syuting live ke Jogja.
Untuk bisa bergabung, mesti membeli tiket senilai 30 ribu rupiah kalau saya tidak lupa. Ketika kami tiba, venue dengan konsep nobar semi indoor di teras rumput itu, sudah ramai sekali peserta nobar menantikan kick-off. Sekilas saya coba membandingkan seberapa banyak tifosi AC Milan dan suporter Liverpool, dan seperti dugaan, kedua kubu relatif seimbang mengingat dua finalis adalah klub besar dengan sejarah panjang dan fans militan. Siapa tak kenal AC Milan dan Liverpool?
Saya sendiri, memutuskan mendukung Milan hanya karena pertautan sebagai tifosi Serie-A. Saya mengenakan kostum Rossoneri (merah-hitam) bernomor punggung 13 seperti Alesandro Nesta pada malam semarak itu.
Suasana nobar RCTI itu sungguh ramai, dipandu presenter olahraga kondang, Tris Irawan, dengan komentator bola terkenal saat itu, favorit saya, M. Kusnaeni. Berbeda menyaksikan Kusnaeni on-air dibanding menyimak analisanya di layar TV.
Setiap selesai Bung Kus-begitu ia disapa, mencoba membedah dan menganalisis taktik Rafael Benitez atau Carlo Ancelotti, maka disambut respon gemuruh para audiens yang ternyata antusias menyimak ulasan pengamat sepak bola andal. Hadir pula Jodi 'Super Bejo', komedian berkepala plontos yang sangat lucu menghibur dengan ragam games dan melepas jokes di sela-sela pertandingan.
Segala prosedur dan aturan main dari RCTI menyiarkan live sepak bola kami patuhi dengan perasaan senang, walaupun saya sangat kecewa menjelang laga dipenuhi iklan berkepanjangan sehingga luput menayangkan momen kedua kesebelasan keluar dari lorong menuju lapangan, berbaris berbanjar sambil menyanyikan lagu kebangsaan Liga Champions, itu momen emosional bagi saya dan pecinta sepak bola fanatik.
Layar lebar mulai terhubung ke Stadion Kemal Ataturk saat starting-11 sudah berada di posisi masing-masing sesaat sebelum wasit Manuel Mejuto Gonzales (Spanyol) meniup peluit start.
Saat saya belum sepenuhnya fokus menonton, kita dikejutkan dengan gol Milan pada menit ke-1. Gol final tercepat, tapi yang membuat saya lebih terkejut, gol dicetak oleh Paolo Maldini, yang menendang bola dari umpan free-kick Andrea Pirlo. Saya tidak bisa mengingat kapan terakhir La Bandiera menciptakan gol, bahkan rasanya saya tidak pernah menyaksikan. Satu tanda awal laga ini akan jauh dari kenormalan.
Gol cepat Maldini membuat babak pertama menciptakan mimpi buruk bagi Liverpool. Gerrard cs, kehilangan fokus, ketenangan, dan tak bisa melepaskan tekanan. Sebaliknya bagi Milan, gol itu membuatnya bermain dengan nyaman. Milan leluasa mengatur tempo lewat duet Pirlo dan Ricardo Kaka yang menguasai seluruh lapangan.
Gol kedua dan ketiga Milan yang diciptakan Hernan Crespo menunjukkan jelas kehancuran The Reds. Gol ketiga paling cantik, Kaka melepaskan umpan jauh membelah barisan pertahanan Jamie Carragher dan Sami Hippya, Crespo menyelesaikan umpan manis itu dengan sentuhan berkelas, ia mencungkil bola melewati Jerzy Dudek yang mencoba maju menutup ruang. Wonderful goal, 3-0 pada menit ke-44, lalu istirahat. Permainan Milan nyaris sempurna.
Serupa dengan Liverpudlian di Kemal Ataturk yang meratap, Liverpudlian Jogja di Sheraton juga lemas, sedih mendalam, tak lagi bersemangat menantikan lanjutan babak kedua pertandingan. Jangan-jangan pada babak kedua gol demi gol akan kembali bersarang ke gawang Dudek, sungguh perasaan horor menanggung kalah begitu telak. Banyak yang bertaruh pada malam itu bahkan sudah menyerahkan uang taruhan, rasanya mustahil bisa mengejar ketinggalan tiga gol di pertandingan final melawan tim Italia seperti Milan.
Saat jeda 15 menit itu, Tris Irawan dan Kusnaeni kembali tayang untuk membahas jalannya babak pertama dan memprediksi seperti apa babak kedua. Masihkah ada harapan untuk Liverpool?
Bung Kus berujar sesungguhnya sekecil apapun masih ada harapan mengejar, dengan syarat mereka wajib membuat gol pertama pada 15 menit awal babak kedua. Jika kedudukan pada menit ke-60, skor belum berubah, maka praktis pertandingan selesai dan Milan juara Eropa untuk ketujuh kalinya.
Prediksi Bung Kus benar tapi juga meleset. Liverpool secara luar biasa berhasil mencetak tiga gol pada menit ke-54, 56, dan '60. Saat harapan mencetak satu gol pembuka, pada menit ke-60, justru skor sudah sama kuat 3-3. Pertama, kapten Steven Gerrard menyundul bola dari jarak jauh umpan Jhon Arne Rise. Gerrard merayakan dengan mengajak rekan dan suporter di tribun untuk bangkit, lebih bersemangat lagi. Ia percaya timnya sudah menemukan cahaya terang di ujung lorong gelap.
Gol pemantik yang berpengaruh, memberikan energi luar biasa besar. Dua menit kemudian pemain Vladimir Smicer dari jarak 25 meter melepaskan tendangan keras sehingga menembus barisan pertahanan dan kiper Dida. Gol Smicer membuat pertandingan semakin seru, kali ini Liverpool yang menciptakan momentum saat Milan justru kebingungan kecolongan dua kali.
Liverpool terus menyerang, tak ingin melepas kesempatan emas. Melalui rangkaian kerja sama apik, Milan Baros mengumpan Gerard dengan tumit ke ruang kosong area kotak penalti, namun Gerard yang berlari bebas bersiap menembakkan bola dilanggar oleh Gennaro Gattuso. Penalti rebound dikonversi Xabi Alonso jadi gol penyeimbang. Tiga gol dalam rentang 15 menit, mengubah jalannya pertandingan, hingga selesai waktu normal dan extra time. Pemenang harus ditentukan melalui adu penalti, tak terbayangkan sebelumnya.
Seperti yang kita saksikan Dudek menjadi pahlawan besar dengan menahan dua algojo, Pirlo dan Shevcenko. Satu lagi ekskusi Serginho melambung di atas mistar. Dua poin penalti Milan dihasilkan Jhon Dhal Tommason dan Kaka. Sedangkan Liverpool hanya perlu empat eksekutor, dan cuma tembakan Jhon Arne Rise diblok Dida. Tiga yang berhasil menjalankan tugas: Steve Finnan, Djibril Cisse, dan Smicer, 3-2. Liverpool juara Eropa kelima kali dengan comeback terhebat.
Saya pun meninggalkan venue nobar dengan perasaan bingung, tapi yang pasti itu pengalaman nobar sepak bola saya paling berkesan. Kemenangan fantastis Liverpool tak henti-henti saya bahas dengan tiap orang yang suka bola.
****
Final Istanbul 2020 akan digelar lagi dengan helatan berbeda daripada semua final Liga Champions sebelumnya. Istanbul 2020 akan dicatat sebagai final yang tertunda dengan stadion yang kosong, tanpa festival, tanpa kerumunan penonton, dan juga tanpa Liverpool, pencipta keajaiban Ataturk lima belas tahun silam.
Siapa yang akan memenangkan trofi di sana nanti? Rupanya Istanbul yang telah mencatat banyak sejarah, juga menyimpan misteri besar. Saya tak sabar menantikannya, untuk mengulang nostalgia malam drama final 2005.
Salam sepak bola.
Komentar
Posting Komentar