Pengalaman Unik Menjadi Penggemar Didi Kempot

(sumber: https://www.kompas.com/hype/read/2020)

Saya adalah orang Bugis yang pelan-pelan menjadi penggemar penyanyi musik campursari Didi Kempot. Saat awal-awal kuliah di Jogja pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, saya berada dekat dengan orang-orang yang takzim mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot. 

Waktu itu sambil kuliah saya sering nyambi paruh waktu bekerja sebagai waitress di usaha Catering, punya Ibu kos. Hampir semua orang yang bekerja di Catering Bu Chris (nama catering), mulai dari Ibu-ibu tim dapur, Bapak kepala gudang, Mas-mas yang mengurus peralatan, transportasi, dan dekorasi, senang mendengar lagu-lagu campursari, yang belakangan saya tahu penyanyinya adalah Didi Kempot. Tiap kali mereka bekerja senantiasa diiringi lagu-lagu hits, seperti Cidro, Stasiun Balapan, dan Sewu Kutho. Mereka bernyanyi seraya berdendang karena pada hapal.

Begitu juga saat pesta hajatan perkawinan sahibul bait yang menjadi pelanggan catering kami digelar, ada saja saya dengar satu atau dua lagu Didi Kempot yang diputar menghibur para tamu undangan. Saya yang tidak paham fenomena campursari tersebut, terpaksa ikut mendengarkan saja, mencoba menikmati sebisanya.

Satu lagi faktor yang saya yakini "memaksa" saya mendengar lagu-lagu Didi Kempot adalah seorang teman kost yang bernama Andi Kuncung. Ia berasal dari Kabupaten Batang Jawa Tengah, merupakan penggemar Didi Kempot paling fanatik yang saya tahu. Sering kali saat kami merayakan pesta kecil-kecilan di kost, ia bernyanyi campursarinya Didi Kempot dengan suara yang khas dan begitu menghayati.

Kepada Kuncung pula, saya kerap bertanya makna lagu-lagu tersebut karena saya tidak paham betul lirik-lirik bahasa Jawa. Penjelasannya cukup menarik dan menyenangkan mengapa ia mengidolakan Didi Kempot. Tentu saja waktu itu belum ada julukan Lord of Broken Heart, The Godfather of Broken Heart, atau Bapak Patah Hati Nasional.

Namun saya tetap merasa sebagai orang Bugis, yang rasanya aneh menggemari Didi Kempot dan musik campursari. Seperti kebanyakan remaja seumuran, saya lebih memilih memutar lagu dari grub band seperti Dewa, Padi, dan Sheila On7, grup musik remaja dari Jogja yang meroket bersamaan dengan lagu-lagu hits Didi Kempot.

Pertengahan dekade 2000-an, entah saya yang tidak tahu, nama Didi Kempot rasanya tidak lagi heboh, sudah jarang saya mendengarkan lagu-lagu legendarisnya. Apalagi setelah kuliah rampung dan saya kembali ke Makassar pada 2008, hampir tidak pernah ada orang yang memutar lagu campursari yang saya temui, meski banyak juga komunitas Jawa yang menetap di Makassar.

Waktu terus berputar, hingga kira-kira di pertengahan tahun 2019, tiba-tiba saya membaca satu artikel di Kompas.id, saya surprise bahwa Didi Kempot kembali tenar, bahkan jauh melebihi popularitas saat kemunculan pertama nyaris dua dekade lalu. Ia dan lagu-lagunya tak lagi sekadar bintang di acara hajatan seperti perkawinan, tapi sudah menjadi idola lintas generasi, suku, agama, dan kelas masyarakat. Semua orang yang pernah merasakan patah hati karena penghianatan cinta, menjadi terhibur dan tidak merasa sendirian mendengar lagu-lagu Didi Kempot. Senasib dan sepenanggungan sebagai sobat ambyar.

Insting saya, fenomena ini pasti pengaruh netizen yang selalu mellow di media sosial. Namun saya tidak paham momen apa yang membuat nama Didi Kempot meroket ke puncak ketenaran seperti mengalami reinkarnasi. Sejak itu, Didi Kempot manggung di banyak tempat berkolaborasi dengan banyak musisi dari berbagai genre. Ia rajin jadi bintang di acara bincang-bincang yang dipandu host beken seperti Andi Noya, Najwa Shihab, dan Rosiana Silalahi. Barangkali banyak yang mengalihkan perhatian ke Didi Kempot karena merasa jenuh dengan situasi politik dan pemerintahan kita yang tak pernah adem, gaduh terus.

Presiden Jokowi yang sekampung dari Solo dengan Didi Kempot, tak ketinggalan. Ia mengundang Didi Kempot tampil di Istana Negara dan ikut berjoged mengikut irama musik campursari. Menurut pengakuan Jokowi, ia senang sekali dengan lagu Sewu Kuto, kemudian ia menjelaskan bahwa Sewu Kuto (seribu kota) adalah imajinasi Didi Kempot saja, karena sebenarnya di Indonesia hanya terdiri dari 514 kota/kabupaten saja. Heheh.

Saya yang sering merindukan suasana Jogja jadi bersemangat dengan reinkarnasi Didi Kempot. Sejak itu saya sering memutar lagu-lagunya di saluran YouTube. Menonton video-video klip dari lagu bertema patah hati, kehilangan, sambil melihat gaya nyanyi yang khas, dengan rambutnya yang senantiasa gondrong (dari dulu begitu).

Nostalgia merasuki jiwa saya. Waktu seperti terlipat, senang betul, rasanya saya pun kini menjadi penggemar Didi Kempot, penggemar campursari. Tidak sama saat ia pertama kali muncul hampir dua puluh tahun lalu, saya tak antusias meski kerap mendengarkan lagu-lagunya. Kemungkinan karena hal emosional berupa kerinduan, saya lebih menikmati dan menghayati lagu-lagu Didi Kempot sekarang. Makin dewasa saya, rasanya lagunya makin enak dan makin cocok di hati dan pikiran.

Saya yakin dulu sudut pandang saya salah. Meskipun lagi-lagunya berbahasa Jawa dan penampilan Didi Kempot seperti abdi dalem--kadang berkostum lengkap dengan beskap dan blangkon-- lagu-lagunya bertema cinta, sangat universal dengan tema meratapi hubungan cinta yang kandas, dan itu pernah dialami semua orang dari mana pun ia berasal.

Beberapa kali saya mengunggah status kutipan lirik-lirik ‘cengeng’ dalam lagu-lagu Didi. Buat saya ini pengalaman unik yang tak biasa. Lalu saya menceritakan kepada Vera, istri saya, tentang fenomena Didi Kempot. Namun sama halnya saya dulu, Vera tidak cukup paham untuk tertarik pada Didi Kempot dan musik campursari. Pengetahuan dan pengalaman budaya Jawanya sangat minim. Justru dua anak perempuan saya yang sering menonton Youtubers cilik, sesekali mendengar kata-kata bahasa Jawa, sedikit lebih tertarik saat saya bercerita Didi Kempot, namun tetap saja masih belum paham apa maksud saya menceritakan. Di Makassar saya merasa kesepian, belum punya teman untuk sekadar mendengarkan dan berdiskusi mengenai musik yang dimainkan Didi Kempot. Tak mengapa untuk sementara saya menikmati sendiri dulu.

Pada 11 April 2020 Didi Kempot bekerja sama dengan Kompas TV menggelar konser amal dari rumah untuk menggalang dana sekaligus menjadi agen efektif untuk menghimbau para warga masyarakat jangan mudik dulu demi mencegah penyebaran Covid-19. Ia bahkan menciptakan satu lagu spesial berjudul "Ojo Mudik" dan tampil seperti biasa menghibur penggemarnya yang menghadapi masa-masa sulit sekarang. Seperti yang kita tahu konser tersebut berhasil menggalang donasi senilai 7,6 miliar rupiah. 

Setahu saya itu merupakan penampilan terakhirnya di publik. Kemarin Selasa pagi 5 Mei 2020, pukul 10 pagi Wita, saat saya sedang di depan laptop work frome home, tiba-tiba ada satu notifikasi dari media daring menampilkan berita dengan judul: Penyanyi campur sari Didi Kempot Meninggal Dunia.

Saya tentunya terkejut, mencoba mengkonfirmasi ke beberapa sumber lagi, dan tidak butuh waktu lama untuk percaya bahwa sang maestro telah pergi, pada usia 53 tahun. Sore menjelang berbuka puasa Didi Kempot diantar ribuan orang untuk dimakamkan di Kabupaten Ngawi Jawa Timur. Didi Kempot meninggalkan banyak kenangan dan kebaikan kepada kita semua, terutama penggemar setianya.

Pada akhirnya menurut saya, Didi Kempot melebihi popularitas musik campursari itu sendiri. Saya tidak pernah tahu nama-nama penyanyi campursari selain Didi Kempot. Begitulah, Didi Kempot adalah campursari dan campursari adalah Didi Kempot.

Selamat Jalan. Sugeng Tindak, sang Maestro.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja