Lebaran di Tengah Pandemi Korona

(dok. pri) 

Siti Almirah, anak saya berusia 7 tahun, pada 24 April lalu yang bertepatan dengan 1 Ramadan 1441 H, merasakan keberhasilan besar dalam satu awal perjalanan hidupnya. Untuk pertama kalinya ia bisa bertahan menunaikan ibadah puasa sampai azan Maghrib, bahkan ia membantu Mamanya menyiapkan menu sajian berbuka puasa kami.

Kepuasan dan kebahagiaan mendalam ia alami. Saya bisa merasakan, menyentuh kalbu akan momen spiritual demikian. “Sebentar, Papa. Saya lagi menikmati es buah ini dulu” kata Siti, saat saya menyuruhnya mengambil air wudhu untuk menunaikan salat Magrib berjamaah. Berbuka puasa adalah satu kenikmatan terbaik bagi umat manusia. Kebahagiaan Siti makin lengkap hari ini karena ia bisa menyelesaikan puasa 30 hari dengan rangkaian ibadah tarawih dan tadarussan sebulan penuh. Syukur Alhamdulillah.

Bagi dia, puasa dan lebaran kali ini punya dua sisi. Pertama, ya itu tadi yang disebutkan di atas. Kedua, Ramadan kali berbeda yang pernah ia rasakan sebelumnya. Tahun lalu ia tetap bangun sahur untuk berlatih berpuasa hingga pukul 12 siang. Ia ikut berbuka puasa menemani saya, kemudian bersiap-siap berangkat ke Masjid bersama sebaya dan tetangganya bertarawih. Ia juga masih mengingat tahun lalu bersama kakaknya membuka lapak kecil-kecilan berjualan telur gulung, es kepal milo, di sekitar kompleks Masjid. Gembira sekali mereka.

Siti sempat menanyakan kenapa Ramadan kali ini berbeda, tapi dengan cepat ia paham karena tentu pandemi Covid-19, sebagaimana dia paham mengapa ia sudah lebih dua bulan tidak bisa berangkat ke sekolahnya. Ia kangen pada teman-teman dan gurunya.

Apakah Papa pernah mengalami Ramadan seperti ini sebelumnya? tanya dia pada saya satu waktu.

Tentu saja jawabannya tidak, dan bukan hanya saya. Umat muslim seluruh dunia yang berjumlah lebih-kurang 1,5 miliar orang, termasuk di Arab Saudi dan Timur Tengah, serta di Indonesia yang terbesar sebanyak 230 juta orang muslim merasakan hal yang sama menjalankan Ramadan 1441 H, yang sungguh berbeda.

Setiap pengalaman Ramadan sejatinya berbeda-beda setiap tahun, punya pengalaman spesifik masing-masing bagi individu. Namun tahun ini bersifat global, disebabkan oleh virus korona (Covid-19), yang berasal dari Provinsi Hubei, China pada akhir 2019. Dalam rentang waktu 150 hari sejak kemunculannya, virus telah menyebar menjangkiti tubuh manusia di seluruh dunia, lebih dari 210 negara.

Beberapa rangkaian tradisi beribadah hilang, atau lebih tepatnya berganti, dialihkan dengan ritual baru yang terkadang membingungkan. Pertama-tama umat muslim dilarang beribadah Jumatan di Masjid. Sesuatu yang sulit pada awalnya namun setelah dua Jumat, kita bisa menerima dengan lapang. Begitu juga saat kita menjelang Ramadan, pemerintah dengan fatwa MUI melarang umatnya berbondong-bondong memakmurkan Masjid seperti biasanya melakukan banyak tradisi ibadah Ramadan yang telah mengakar kuat.

Buka puasa bersama kerabat, sahabat dan kolega untuk menguatkan silaturahmi ditiadakan; salat tarawih di Masjid yang senantiasa semarak juga tidak diperbolehkan; pelaksanaan salat itikaf pada 10 hari terakhir Ramadan dialihkan di rumah; kegiatan sahur pun demikian. Intinya kita semua menjalankan seluruh ibadah di rumah saja. Hal itu semua pada awalnya tak mudah dipahami dan dijalankan. Doktrin menjalankan ibadah pahalanya jauh lebih berlipat ganda jika dilaksanakan di Masjid, apalagi saat bulan Ramadan sudah lama tertanam. 

Semuanya masih berlanjut menjelang Lebaran. Ritual mudik yang sudah membudaya mesti ditahan; menegakkan salat Idul Fitri di tanah lapang harus dilaksanakan di rumah; sungkeman mohon maaf kepada keluarga besar dibatasi seminimal mungkin; acara ‘Halal-bihalal’ juga diperintahkan tidak digelar. Kalaupun dilaksanakan harus melalui perangkat media telokomunikasi. 

Ramadan dan Lebaran 1441 H akan dikenang berlangsung di tengah pandemi Covid-19, penyakit yang sangat mudah menular. Oleh karena itu sangat penting bagi kita melakukan segala yang kita bisa untuk mencegah virus menyebar lebih massif, semuanya merupakan bentuk pengorbanan sebagai umat muslim yang taat. Semakin banyak aturan yang kita patuhi, semakin banyak yang dapat terselamatkan.

Ini adalah kehendak Tuhan. Kita tiba-tiba berada di dunia yang berbeda. Tidak ada yang pernah berpikir ini akan terjadi. Oleh karena itu umat muslim perlu mengubah pola pikir, memaksa kita merenung merefleksikan lebih dalam hakikat beribadah. Momen terbaik untuk kita memahami ada bagian dari kita paling esensial sebagai manusia, yakni hati yang bersih menghadapi setiap kesulitan dan ujian. Pandemi ini akan menunjukkan watak dasar kita sebagai muslim, sebagai manusia.

Memang benar jika minta maaf bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Namun di momen spesial hari raya Idul Fitri, tentu nilai ibadah dan berkahnya akan menjadi lebih istimewa pula. Kepada seluruh keluarga, sahabat, dan umat muslim di seluruh dunia, dengan tulus dan segala kerendahan hati, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin atas segala sikap, ucapan, dan tulisan selama ini. 

Semoga masa sulit ini segera berakhir, dan kita masih diberi umur panjang dan kesehatan untuk mensyukuri nikmat Allah, SWT. Amin.

(dok. pri)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja