Review Dallas Buyers Club

(sumber: https://www.bbc.com/news/entertainment/)


Film Dallas Buyers Club (DBC), bersetting pada 1985 di negara bagian Texas, berkisah seorang Ron Woodrof, yang berprofesi tukang listrik. Setiap hari menjalani hidupnya dengan mengirup heroin, menyerap kokain, dan berhubungan seks dengan banyak perempuan, sembari bermain dan berjudi rodeo.
Langit seperti runtuh tatkala Woodroof harus menerima kenyataan paling pahit yang mungkin pernah dialami manusia. Ia divonis oleh dokter bahwa hidupnya hanya akan bertahan sekitar 30 hari lagi, karena tubuhnya telah diserang virus HIV, penyebab AIDS, yang pada masa itu asal mula penyakit AIDS sudah bisa didiagnosis, namun belum ditemukan obat dan metode penyembuhannya secara medis.
Waktu menunggu 30 hari penghakiman Woodroof  itulah merupakan bangunan cerita dari film yang berdasarkan satu memoar ini. Kita diajak masuk ke dalam dunia Woodroof  yang putih-hitam. Emosi kita dibuat bercampur aduk untuk menafsirkan sosok Ron Woodrof. 
Sungguh menyedihkan melihat emosinya tentang keputusasaan, kemarahan dan penyesalan. Namun semakin cerita berkembang Woodroof menemukan banyak arti dalam perjuangannya dan dia bekomitmen pada orang lain untuk terus menemukan kebahagiaan dan menjalani hidup mereka terlepas dari kondisi mereka.
Sutradara Jean-Marc Valle, patut diapresiasi kerja kerasnya mengangkat tema pilu ini menjadi sebuah karya sinema yang penuh sarat makna tentang bagaimana perjuangan menghargai hidup ini dengan tegar dan terhormat. Begitu pula Craigh Borten dan Melisa Wallack sebagai penulis skenario. Duet ini menjadikan durasi film 117 menit tak terasa lama dan menjenuhkan. 
Pada akhirnya film ini mengantarkan dua aktor, Matthew McConaughey sebagai aktor utama terbaik, dan Jared Leto sebagai aktor pendukung terbaik, di ajang paling bergengsi, Academy Award 2014. Matthew McConaughey mengikuti jejak Tom Hanks yang juga memenangkan Oscar karena memainkan peran penyintas AIDS secara meyakinkan di film Philadelphia pada 1993. Anggota Academy nampaknya sangat ramah dengan tema-tema kemanusiaan seperti ini. 
Kembali ke DBC, peran McConaughey yang memainkan Ron Woodrof adalah satu dari sedikit seni peran fenomenal yang pernah saya tonton. Benar-benar membuat kita terkesan cara McConaughey menyampaikan emosi dari satu karakter. Peran sedemikian dahsyat itu tak bisa diraih hanya karena bakat McConaughey.
Saya kemudian bertanya seberapa lama dan seberapa intens McConaughey melakukan observasi dan riset untuk menjelma menjadi karakter orang yang terkena AIDS, bukan hanya dari segi fisik kurus kerempeng, tapi juga membayangkan sulitnya menajamkan faktor emosi yang tepat.

Supaya dapat maksimal menjiwai Woodrof, McConaughey telah mengeringkan tubuh dan rela badannya anjlok kisaran 20 Kg--sebenarnya ini sudah lazim di industri film Hollywod. McConaughey melakonkan seorang laki-laki yang tubuhnya sangat rapuh, karena hanya menyisakan tulang dan setipis daging, namun tetap mampu memperlihatkan binar mata yang dipenui semangat untuk keluar dari permasalahan terberat sekali pun. 
McConaughey membuat kita bersimpati kepada Woodrof yang sebelumnya menilai bahwa manusia dengan gaya hidup macam Woodrof adalah penjahat kriminal. Visioner seorang McConaughey yang hebat di film ini, bahwa akting-seberapa pun porsinya, mesti dijiwai segenap jiwa raga sebagai apresiasi terhadap pecinta film. 
Melalui kisah nyata tragedi yang terus terjadi hingga hari ini, DBC  juga menyampaikan pesan yang sangat kuat, tentang cara pemerintah menangani pasien, tentang mekanisme hukum bidang kesehatan, tentang industri farmasi yang cenderung mengutamakan keuntungan besar dari kepentingan pasien. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja