Revolusi Pembangunan dari Desa
Desa masih sering dipersepsikan sebagai kantong kemiskinan dan rawan mengalami ketidakadilan sosial. Data statistik menunjukkan terdapat 73 ribu desa di seluruh Indonesia yang ditinggali separuh penduduk, masih mengalami marginalisasi, keterisolasian, keterbatasan akses sumber daya, akses pembangunan, serta keterbatasan pada segala akses kehidupan.
Pengalaman yang sudah-sudah, pembangunan umumnya dilaksanakan di desa dianggap tidak populis dan tidak meningkatkan perekonomian desa. Investor juga enggan berinvestasi di desa yang diyakini tak berprospek cerah. Akibatnya hampir 75 tahun negara kita merdeka, pembangunan lebih dirasakan oleh masyarakat kota, golongan elit, dan kelas menengah.
Barangkali ada kaitannya dengan fakta tersebut, tulisan-tulisan dalam kolom, pustaka dalam bentuk buku atau karya ilmiah lain, yang mengupas pembangunan desa sangatlah minim. Tak banyak individu punya niat tulus menulis atau meneliti tentang desa dengan segala permasalahan dan potensinya. Jika pun masih ada segelintir, hambatan berlanjut di pihak penerbit yang cenderung tidak tertarik menerbitkan buku perihal desa karena dinilai tidak populer, sehingga diprediksi tidak bakal laku di pasaran.
Satu dari sedikit adalah Dr. Yansen TP., M. Si, birokrat sekaligus Bupati Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan Utara, yang telah sukses menulis buku berjudul ‘Revolusi dari Desa; Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat’ (2014). Apresiasi juga kepada PT Elex Media Komputindo, yang tidak ragu menerbitkan karya pustaka setebal xxviii+180 halaman ini.
Buku ini menyajikan tulisan ideal sebagai pustaka bagaimana membangun desa secara terukur. Mengekspos hal yang substansial di mana aktualitas dan paparan datanya jauh lebih lengkap dan komprehensif. Variabel ini yang membedakan penulis seperti Yansen selaku birokrat pemutus kebijakan dengan penulis yang hanya bertumpu pada opini dan teori-teori.
Yansen membuka buku ini dengan tempo yang cukup tinggi. Aparatur sipil yang mengabdi hampir 35 tahun ini langsung menggugat konsep pembangunan selama ini yang cenderung tidak tepat dan salah sasaran, karena pemerintah selalu menempatkan masyarakat berada di pihak yang paling lemah, menganggap beban, sehingga begitu sulit mengurai dan mengatasi persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia.
Padahal Indonesia punya segalanya untuk menjadi negara sejahtera. Saya suka dengan analogi Yansen mendeskripsikan Indonesia ibarat sebuah negeri impian di dalam dongeng. Negara tercinta ini dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, kekayaan besar dan melimpah yang sangat potensial sebagai modal dasar pembangunan. Bahkan Yansen mengutip lirik sebuah lagu dari grup band legendaris Koes Plus, ‘Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Yansen juga mengutip studi Furnivall pada 967 yang membuktikan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural (multicultural society), yang memiliki kemajemukan horizontal, yakni ragam bahasa, ragam suku, ragam budaya, ragam agama, ragam adat istiadat. Hal tersebut adalah suatu kekuatan pembangunan yang luar bisa jika mampu dikelola dengan baik (hlm. 8).
Fakta ironis inilah yang menggugah Yansen sebagai anak bangsa yang cinta pada negerinya, peduli dengan kondisi tersebut. Tidak ingin mengeluh, tidak sekadar berwacana, Yansen sungguh-sungguh dengan revolusi konsep pembangunan berbasis pedesaan yang diberi nama “Gerakan Desa Membangun” di kabupaten yang dipimpinnya, Malinau, Kalimantan Utara.
Gerakan Desa Membangun (GERDEMA)
Inti dan poin paling penting dari buku Revolusi dari Desa ini dijabarkan komprehensif dimulai dari Bab III, Gerakan Desa Membangun GERDEMA; Sebuah Revolusi dari Desa.
Revolusi-revolusi yang dimaksud untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan pedesaan di kabupaten Malinau mencakup:
- Revolusi dalam hal penerapan konsep pembangunan, integrasi antara pendekatan partisipatif dan teknokratik yang bermuara di desa;
- Revolusi dalam penyerahan urusan dari perangkat teknis daerah kepada pemerintah daerah;
- Revolusi dalam hal konsistensi antara formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan pembangunan desa;
- Revolusi dalam hal pengelolaan dana pembangunan, dengan memberikan kepercayaan penuh kepada desa melalui kontrol anggaran secara mandiri;
- Revolusi dalam pelaksanaan otonomi secara penuh di desa, sebagai bagian komitmen membangun kedaulatan rakyat yang menjadi cermin kedaulatan negara yang hakiki (hlm. 45).
Kelima revolusi ini semakin kuat landasan hukumnya dengan lahir Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, terpisah dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang selama ini menjadi dasar pengaturan tentang Desa.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menegaskan peran dan kedudukan desa yang sangat penting dalam menjalankan tugas dan wewenang untuk mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Konsepnya, pemberdayaan masyarakat sebagai kekuatan utama dalam pembangunan.
GERDEMA di Malinau berjalan dengan moto ‘Berubah, Maju, Sejahtera’. Serta dilandasi tekad untuk bekerja keras dengan ketulusan hati yang bersih dan berkomitmen. GERDEMA bukanlah slogan belaka. Implementasi GERDEMA sebagai sebuah model aplikatif berada di jalur mekanisme yang bertahap. Mulai dari tahap perencanaan, pembiayaan, pengawasan, evaluasi, pertanggug jawaban, indikator kinerja, hingga capaian keberhasilannya (hlm.111).
Tiga pihak yang berperan utama dalam implementasi GERDEMA. Kesatu, Pemerintah Daerah, dalam hal ini seluruh aparatur dan SKPD terjun secara langsung sesuai fungsi dan wewenang di Kecamatan dan Desa masing-masing. Merupakan bentuk komitmen dan kesadaran bahwa Pemerintah Desa dan segenap perangkatnya harus diperkuat untuk mampu menggerakkan roda pemerintahan desa. SKPD Pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Kedua, Masyarakat. Keberhasilan GERDEMA sangat ditentukan oleh seberapa besar partisipasi masyarakat dalam pembangunan desanya, karena masyarakatlah yang paling paham apa yang mesti dilakukan dalam menyejahterakan diri mereka. Partisipasi masyarakat desa di Malinau dimulai dari merumuskan berbagai permasalahan dan potensi di desa dalam tahap perencanaan, keterlibatan dalam pelaksanaan, ikut melakukan pengawasan, dan evaluasi serta memberi masukan untuk perbaikan. Masyarakat desa dengan berbagai profesi dan fungsinya bersinergi dengan berbagai peran lainnya, baik formal maupun informal. Masyarakat dilatih berkreasi dan berinovasi untuk memanfaatkan potensi desanya masing-masing.
Ketiga, Swasta, seperti banyak yang terjadi di daerah lain bahwa peran swasta kurang dilibatkan, atau juga swasta yang tidak berminat di daerah pedesaan, padahal keberadaan swasta sangat strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Terutama peran dalam memberikan akses yang tinggi dalam mendorong kehidupan dan pertumbuhan ekonomi riil di masyarakat, seperti contoh di bidang perdagangan sembako, penyedia jasa, pertanian, peternakan, perkebunan dan sebagainya.
Ketiga domain peran tersebut merupakan kesatuan nilai yang benar-benar sinergis dan terpadu mewarnai pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat desa untuk kesejahteraan rakyat di Malinau.
Setelah dilaksanakan sejak Januari 2012, hasil implementasi GERDEMA berdampak positif bahkan bisa dikatakan spektakuler. Pembangunan infrastrukur pedesaan menggeliat, perkenomian meningkat, pendidikan dan kesehatan yang semakin layak, masyarakat semakin mandiri dan memiliki jiwa dan etos kerja, hubungan antar lembaga di desa semakin solid. Bahkan 109 desa yang ada di kabupaten Malinau dapat mengolah APBDesanya secara mandiri, efektif, dan efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
GERDEMA ala Yansen membuka mata, pikiran, dan hati kita semua bahwa untuk berbuat sesuatu yang bernilai dan punya manfaat pada orang banyak diperlukan komitmen, kebersamaan, kerja keras, ketulusan, dan keteguhan hati.
Selamat dan terima kasih Pak Yansen atas dedikasi dan kontribusinya kepada masyarakat dan negeri tercinta ini.
Salam
Komentar
Posting Komentar