Cinta yang Karam di Kapal Van Der Wijck

(Sumber: https://filmcircleprojectf.wixsite.com)


"Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis. Cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh kehidupan ini."

Jalinan cinta sepasang anak manusia yang tak beroleh restu karena perbedaan kelas dan stratifikasi sosial sudah terlalu banyak mengisi acara televisi dan perfilman kita. Namun kalau kisah itu hasil karya fiksi ulama karismatik Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), tentu berbeda dari beberapa aspek. 

Film diawali Zainuddin, remaja yatim piatu sejak dirinya kecil, hasil perkawinan laki-laki Minang dan perempuan Makassar. Zainuddin meminta izin pada bibi pengasuhnya di Makassar untuk merantau ke tanah Minang, menyusuri negeri asal ayahanda yang terkenal panorama elok, dengan maksud menyambung silaturahmi sekaligus belajar agama. 

Perjalanan jauhnya tak mendapat sambutan yang diharapkan. Dia ditolak lembaga adat Minang yang masih teguh memegang patron matrilineal. Sebaliknya sewaktu di Makassar dia pun dianggap bukan orang 'suku asli' Makassar karena asal usul seseorang diukur berdasarkan garis darah sang ayah. Jadilah Zainuddin anak yang malang, seperti pengakuan tertulis pada kekasihnya di dalam surat cintanya.

Hanya kekasihnya yang menyambut baik dan memberikan harapan padanya di tanah Minang. Hayati namanya, perempuan yang juga yatim piatu, namun berasal dari keluarga pemuka adat di Batipuh Minangkabau. Tentu saja cintanya menemui tantangan maha berat, tak kesampaian, dan akhirnya terguncang jiwanya manakala Hayati terpaksa menerima lamaran urang awak asli Minang, Uda Aziz. Berangkat dari sinilah film dengan durasi 165 menit beralur hingga selesai.

Beban sakit hati karena penolakan cinta, membawa Zainuddin meninggalkan Batipuh, menuju kota Padang, Batavia, dan kemudian Soerabaya. Singkat cerita, berbekal keterampilan menulis berdasarkan pengalaman pribadi, Zainuddin jadi penulis dan penyair terkenal dan karya-karyanya membuatnya kaya raya. Waktu bersamaan, bak roda kehidupan, Hayati dan Aziz justru jatuh miskin di kota Soerabaya. Hingga akhirnya Aziz meninggalkan Hayati dan menalaknya lewat sepucuk surat.

Sesungguhnya cinta Hayati tak pernah padam pada Zainuddin, dan ia berharap bisa memulai kembali cinta mereka. Namun hati Zainuddin yang mulia sekaligus benci pada penolakan cinta dahulu, malah memutuskan meminta Hayati melupakan roman cinta yang sesungguhnya belum selesai. Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke Minang, menumpang Van der Wijck, kapal megah buatan Feeyenord Netherland. Seperti judulnya, kapal ini karam di Laut Jawa.

****

Film ini membawa kita menembus satu masa ketika adat adalah lembaga terkokoh di negeri yang elok ini. Buya Hamka dan (Sunil Soraya, sutradara) sebenarnya menyiratkan pesan universal kepada adat Minang yang "hitam putih" pada masa tersebut. 

Suku tetaplah suku yang melekat pada manusia hingga mati, itu harus dihormati. Namun rasanya tidak sebanding juga melihat fakta, berapa banyak sudah hati manusia yang rapuh tersakiti dilindas perbedaan ‘suku’ macam ini. Tak terhitung pula dendam dan kebencian yang tumbuh hanya karena pengkotak-kotakan kelas manusia.

Kisah film ini sangat bertumpu pada kekuatan penulisan skenario yang mampu menerjemahkan maksimal salah satu roman masterpiece Buya Hamka ini. Mudah dibayangkan jika bukan sosok Buya Hamka yang menulis bukunya, maka kita tak akan menjumpai penonton di kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu yang memang pernah menyimak langsung ceramah dan membaca novelnya yang sudah lama terbit.

Selain itu pada sinematografi juga sangat keren, berhasil menampilkan keindahan-keindahan tanah Minang, Batavia, dan Soerabaya, lengkap dengan budaya masing-masing. Yudi Datau lewat bidikan kameranya sukses menuntun kita menembus waktu periode pada 1930-an. 

Jika ada sedikit kelemahan, saya menilai pada pengisi musiknya. Bagi saya pribadi grup band Nidji terasa kurang pas saja dengan karakter film yang bersetting 80 tahun lalu. Kita sudah terlanjur menilai Nidji adalah fans anak-anak muda kota masa kini. Saya juga sedikit kecewa adegan tenggelamnya kapal Van der Wijck dieksekusi antiklimaks. Tak mendapat garapan impresif yang mengesankan bagian di sini. 

Pada seni peran, Herjunot Ali yang memainkan tokoh utama Zainuddin, juga belum maksimal saat berdialek bahasa Makassar yang kurang sempurna, terutama di telinga orang asli Makassar. Namun ada pemakluman, memang tak pernah bisa dialek Makassar ditiru jika ia bukan penutur asli. Pevita Pearce sebagai Hayati bermain lumayan. Reza Rahardian berperan sebagai Aziz yang berakting paling cemerlang. Reza sekali lagi membuktikan dia aktor watak terbaik kita saat ini.

Sebagai penggemar drama, saya menikmati film ini secara keseluruhan. Kedahsyatan dan kebahagian cinta sangat terasa mengisi ruang-ruang hati saya (kita), yang selama ini selalu mengedepankan pikiran dan logika. Padahal hati kitalah sumber kebahagiaan yang terbesar.

Mengutip Hayati di salah satu adegan romantisnya “Dalam surat kita bisa lebih bebas menerangkan apa isi hati kita”. 

Saya pun merasakannya sekarang, dengan tulisan ini saya merasa bebas untuk menjelaskannya betapa bahagianya saya menuliskannya di blog ini.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja