Hakikat Mudik Saat Pandemi Korona

 
(dok. pri)

Dalam kehidupan sehari-hari, orientasi kita adalah perjalanan duniawi, sehingga kita acap kali lupa berdialog dengan diri kita sendiri. Lebaran adalah momen yang tepat sebagai media kita untuk membatin dan bertanya seberapa jauh kefitrian jiwa kita.

Hari Lebaran adalah hari riang gembira. Hari yang sangat ditunggu umat muslim di seluruh dunia. Pada hari Lebaran, 1 Syawal adalah Hari Raya Idul Fitri yang mempunyai makna kembali ke fitrah. Waktunya merayakan hari kemenangan perjalanan bulan suci Ramadan. 

Bagi umat muslim, khususnya di Indonesia, Lebaran selalu diawali dengan ritual mudik. Tapi tahun ini, lebaran sekarang, 1441 H, budaya mudik yang sudah mendarah-daging dihimbau dan bahkan dilarang dilakukan, demi memutus rantai penyebaran virus corona lebih luas ke kampung-kampung.

Budaya mudik sangat terkait dengan aspek psikologis, karena ikatan komunitas kita sangat kental primordial kedaerahan dan kesukuan sebagai satu identitas. Ada dorongan yang sangat besar untuk menyampaikan permohonan maaf tulus kepada seluruh keluarga, terutama orang tua.

Ritual mudik sejatinya tidak diatur oleh agama Islam secara normatif. Namun hanya peristiwa dan tradisi budaya yang berhubungan erat dengan perististiwa keagamaan, khususnya agama Islam dalam menyambut Idul Fitri.

Beberapa agama dan bangsa di dunia mempunyai event keagamaan yang identik dengan istilah “mudiknya orang Indonesia.” Warga Amerika Serikat misalnya, kuat dengan tradisi Thanksgiving Day, hari perwujudan rasa syukur yang dilakukan dengan seremoni gathering. Demikian pula orang China yang berjumlah miliran populasi, selalu membludak melakukan perjalanan pulang demi merayakan tahun baru Imlek.

Jadi mudik merupakan agenda festival budaya religius umat Islam untuk melestarikan tradisi lama, kemudian mengenalkan tradisi tersebut kepada generasi selanjutnya, sembari bagaimana menyikapi tradisi lama tersebut pada situasi modern sekarang berupa penguatan budaya peradaban yang terus mengalami akulturasi.

Sederhananya, siapa pun yang pergi merantau dan sehebat apapun orientasi dunia mereka, ketika datang momen Lebaran, akan dihinggapi kerinduan yang kuat untuk pulang ke tempat lahir dan tempat menyimpan memori dari masa tumbuh kembang dari manusia anak-anak hingga dewasa. 

Pulang mudik sudah sepatutnya disyukuri karena kita kembali ke akar budaya, ke awal kita memperoleh ruang sosialisasi yang membentuk jati diri kita sebagai manusia yang begitu tergantung dengan kehidupan sosial. 

Karena itulah saya meyakini, walaupun mungkin kita lahir, tumbuh, dan menetap di metropolitan, kita semua pada dasarnya adalah orang kampung. Karena kita pasti mempunyai keluarga, handai taulan, dan kerabat, yang menetap di kampung-kampung seluruh pelosok nusantara.

Tapi sekarang nuansanya berbeda. So, di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda ini, lebih baik kita menahan diri untuk mudik. Untuk merayakan Lebaran, bermaaf-maafan, dan menyambung silaturahmi, kita tetap bisa melakukan melalui ragam media telekomunikasi. Memang terasa lain dari banyak hal, tapi itu yang terbaik yang bisa kita lakukan saat ini.

Islam mengajarkan kita untuk senantiasa bersabar. Semoga pandemi Covid-19 cepat berakhir.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja