Laut Berdarah Reformasi 1998

(dok.pri)

Dalam menengok sejarah, selalu ada dua sisi untuk setiap revolusi, untuk setiap perubahan besar. Hampir tak ada revolusi yang sepenuhnya buruk atau sepenuhnya baik.

Tiap kali kita memasuki bulan Mei, kita menghidupkan satu sejarah besar Indonesia, menjalani masa baru yang kita sebut era Reformasi menggantikan masa Orde Baru yang begitu lama di bawah satu rezim yang sangat berkuasa.

Peristiwa politik peralihan kekuasaan pada Mei 1998 yang berdarah-darah tersebut banyak disaksikan dan dimaknai setiap orang yang terlibat. Begitu banyak pertanyaan penting yang belum terjawab di balik rangkaian tragedi kemanusiaan yang melatari Reformasi 1998, meskipun peristiwa itu sudah berlangsung lebih dari dua dekade.

Leila S Chudori contohnya, menuliskan memoar dalam bentuk novel berjudul  Laut Bercerita. Meskipun fiktif,  Laut Bercerita  terinspirasi oleh kisah nyata para korban kekerasan dan pembunuhan, penyintas, dan keluarga mereka, untuk 'menghidupkan' kembali peristiwa Mei 1998. Leila seperti melanjutkan novel Pulang , yang juga berlatar politik kelam Indonesia, yakni peristiwa 1965.

Laut Bercerita  bertutur tentang kegiatan kelompok mahasiswa yang menuntut keadilan dan kesejahteraan di negeri ini; tentang cinta dan penghianatan yang selalu ada; tentang kejinya satu pemerintahan yang selalu menyiksa tanpa mengadili; dan yang mungkin paling memilukan berapa banyak keluarga yang kehilangan anak tanpa kepastian yang berkepanjangan.

Latar cerita dimulai pada tahun 1991 di rumah tua yang direnovasi di daerah Seyegan, Yogyakarta. Rumah wadah beraktivitas gerakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menamakan Winatra--yang diartikan dibagi rata. 

Aktivis Winatra terdiri dari mahasiswa bergelora yang berasal dari berbagai fakultas dan budaya yang berbeda. Mereka adalah Biru Laut, Daniel Tumbuan, Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dan Kasih Kinanti, serta para penghuni Seyegan.

Oleh rezim tiran yang mulai goyah saat itu, Winatra dituduh sebagai kelompok yang ‘berbahaya’ dan mesti diawasi bacaan, gagasan, dan gerakannya. Winatra sendiri sadar betul akan konsekuensi, mereka pun sudah tahu bahwa tiga tahun sebelumnya atau pada 1988, kawanan mahasiswa aktivis diculik hanya karena membaca buku-buku Laclau, Ben Anderson, tetralogi novel Pramoedya Ananta Toer, dan sebagainya. Buku-kiri yang dilarang keras dibaca dan disebarkan termasuk di kampus-kampus. Namun Winatra tak mundur selangkah pun dengan semua intimadasi dan ancaman.

Leila dengan informatif memasukkan peristiwa-peristiwa politik penting yang melatari dan memicu gerakan besar pada 1998. Ia merasakan pembredelan tiga media besar pada 1994; pembunuhan aktivis buruh Marsinah; atau apa faedah program bersih diri dan bersih lingkungan terhadap ekstensi eks tahanan politik.

Gerakan kelompok Winatra juga menyingkap tabir penyelesaian masyarakat kecil dari kezaliman pemerintah. Dari novel ini kita jadi tahu detail kasus  Kedung Ombo, Jawa Tengah. Warga setempat yang digusur karena pembangunan Waduk, hanya membayar ganti rugi 250 rupiah per meter dari janji semula 3000 rupiah per meter. Warga tentu memprotes, bersama Winatra dan kelompok mahasiwa lain perang keras, tapi dilindas cengkraman militer Orde Baru.

Winatra juga aktif mengadvokasi masyarakat untuk membela para petani jagung di Blangguan, Situbondo, Jawa Timur untuk menuntut hak. Ladang jagung mereka digusur hanya untuk menjadi kawasan latihan militer ABRI. Peristiwa fakta dikisahkan dalam detail cerita dalam gerakan Laut dan kawan-kawan. Dari dua kegiatan politis tersebut, Laut dan kerumunan semakin mudah diintai, diburu, dan diancam. Kawanan Laut menjadi buron dan untuk terus melawan, mereka terpaksa mengganti nama. Laut contohnya, mengubah namanya menjadi Jayakusumah.

Hingga mulai Maret 1998, satu demi satu Winatra ditangkap, disekap, diinterogasi, disiksa, dan diasingkan dengan sangat sadis oleh tiran di tempat yang gelap. Leila mendeskripkannya masing-masing pada satu bab “di suatu tempat di dalam gelap; di dalam keji; di dalam laknat; di dalam khianat; dan di dalam kelam.

Setelah rezim otoriter jatuh pada 21 Mei 1998, pola perlakuan terhadap tawanan politik berbeda-beda. Ada di antara mereka dilepaskan dan kembali bertemu keluarga. Namun Biru Laut dan beberapa teman tidak pernah kembali ke rumahnya. Ia dilarung ke laut.

Dari sini alur cerita berganti narator. Dari Biru Laut ke Asmara Jati, adik perempuan Laut, mahasiswi Fakultas Kedokteran. Asmara bergabung dalam Tim Komisi Pencarian Orang Hilang (KPOH) yang mencoba menelusuri dan menemukan jejak Laut dan kawan-kawan mereka yang dihilangkan.

Perkumpulan keluarga yang anaknya hilang adalah hal yang tak terpikirkan. Selama proses pencarian bertahun-tahun itu keluarga mengalami penantian panjang, ketidak pastian dan insomnia. Orang tua mana yang tak menderita kehilangan anak. Kalaupun anaknya sudah mati, mereka ingin melihat jenazah dan membaringkan bunga di pusara sang anak. Tapi itu semua tidak mereka dapatkan, yang ada hanyalah ketidakpastian, hal yang paling menakutkan.

****
Laut Bercerita  adalah buku epik kisah perjalanan bangsa memasuki Reformasi yang diceritakan dalam bentuk novel yang indah, sekaligus getir.

Karakter-karakter dalam Laut Bercerita adalah pribadi dan kelompok yang gelisah dengan situasi kehidupan dan tirani pemerintahannya. Mereka mencoba melakukannya dengan cara masing-masing demi mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis; presiden dipilih berdasarkan pemilu yang betul-betul adil; perangkat hukum dan parlemen berfungsi dengan baik: dan pers bisa bebas tanpa Menteri Penerangan.

Leila juga menyampaikan pesan kuat untuk tidak berhenti menuntut pemerintah agar kasus 1998 diinvestigasi untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka yang belum pulang. Lima presiden sudah berganti tapi tak memiliki kehendak politik menyelesaikannya.

Salam Reformasi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naik Kereta Api Surabaya ke Jogja

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja