12 Years a Slave, Bukan Sekadar Bertahan Hidup
(Sumber: https://www.imdb.com/title) |
Tadi malam saya baru berkesempatan menuntaskan 12 Years a Slave, sebuah film adaptasi oleh penulis Jhon Ridley dari memoar 1853 oleh seorang laki-laki bernama Solomon Northup.
Segalanya bermula di ladang tebu pinggiran New York, pada 1841, tatkala perang saudara di Amerika Serikat mulai memuncak antara Divisi Utara yang mendukung perubahan konstitusi melawan Divisi Selatan yang bersikukuh menskeptisme manusia hanya karena warna kulit gelap.
Solomon Northup, laki-laki berkulit hitam, ayah beranak dua keturunan Afro-Amerika, yang berprofesi sebagai pemain biola dan pandai kayu, hidup di bagian New York, tiba-tiba diculik oleh dua anggota ekstrim pro-perbudakan dengan modus penipuan. Northub dibius, ia teler-berat dan sampai akhirnya ia sadarkan diri menemukan tubuhnya sudah dililit rantai, layaknya binatang peliharaan. Dia dijual dan dijadikan budak di negara bagian Lousiana.
Film kemudian bergulir dengan menampilkan adegan-adegan perbudakan yang tidak berperikemanusiaan, mengiris-iris hati dan mengoyak batin yang berjiwa. Northup-dan orang yang berkulit hitam harus hidup menderita selama 12 tahun di bawah kekejaman pemerintah yang memperlakukan manusia begitu kejinya. Mereka dihina dan disiksa secara verbal dan fisik.
Sutradara Steve McQueen dengan cara sederhana (juga dengan dana relatif kecil), berhasil menghadirkan pesan moral tentang isu kemanusiaan di era modern ini tentang perbudakan. McQueen menyajikan drama klasik modern dengan luar biasa asik, penuh kejutan, sekaligus mendebarkan. Gambar-gambar yang muncul sangat artistik dengan setting abad ke-19. Kemudian Chiwetel Ejiofor menampilan akting kepahlawanan dan kinerja yang tak tertandingi sebagai Northup.
Barangkali satu pesan dari drama epik pebudakan di jaman modern ini untuk merangkai satu kepingan sejarah 150 tahun silam saat negara Amerika Serikat mulai membangun peradaban. Saya dan mungkin kita semua boleh berandai-andai jika Abraham Lincoln tak berhasil memenangkan pemilihan presiden pada 1864, yang kemudian mengambil keputusan berani menghapuskan perbudakan di seluruh penjuru Amerika Serikat.
Apakah Amerika Serikat akan semaju dan semoderat dewasa ini?
Meskipun Lincoln harus ditembak mati oleh seorang kulit putih yang marah besar atas kebijakan Lincoln. Sejarah kemudian mencatat bahwa Lincoln adalah seorang pemimpin yang menciptakan revolusi besar. Membawa negerinya dari masa kegelapan perang saudara menjadi negara bersatu lewat persamaan dan kesetaraan hak seluruh manusia tanpa memandang latar belakang.
Lebih dari sekadar gelar film Oscar. Memoar Northup akan membuka mata dan hati kita, bahwa meski telah dua kali pergantian milennium setelah latar film ini, pengingkaran tentang hak asasi manusia masih acap terjadi di berbagai belahan dunia. Dari laporan PBB, setidaknya 20 juta manusia masih hidup dalam cengkeraman penindasan manusia lainnya, dari berbagai bentuk kejahatan.
Meski tidak sekejam yang diperlihatkan di film. Namun ini membuktikan bahwa beberapa kelompok manusia ternyata tumbuh kembang dengan buruk. Makhluk hidup terutama manusia berhak untuk hidup layak, bukan hanya sekadar bertahan hidup.
Salam damai.
Komentar
Posting Komentar