Tenang dan Damai di Desa Nyuh Kuning Ubud

(dok. pri)

Ketika menghadiri Ubud Writers and Readers (UWRF) 2019 akhir Oktober tahun lalu, tanpa sengaja (reservasi acak via online) saya menginap di Desa Nyuh Kuning, yang berjarak 5 kilometer dari venue-venue UWRF. 

Desa wisata ini berada di Ubud, Gianyar, kawasan yang terkenal memiliki alam dan nuansa pedesaan, juga seni dan budayanya yang sudah kondang. Paling mudah mengingat lokasi Nyuh Kuning tepat berada di sebelah selatan hutan lindung wisata Monkey Forest.

Berlabel desa adat, juga desa wisata, alam yang asri lengkap dengan hamparan sawah, hutan, membuat Nyuh Kuning Ubud menjadi tujuan primadona bagi wisatawan mancanegara. Suasananya yang tenteram merupakan lokasi yang tepat untuk menenangkan diri dan mencari inspirasi.

Kegiatan menyenangkan di Desa Nyuh Kuning mulai pagi hari, dengan berjalan kaki ataupun berkendara mengelilingi desa. Jalanan desa sangat bersih, tertata rapih menyatu dengan cara hidup penduduknya. Di kanan dan kiri tumbuh pepohonan rindang bunga kamboja yang menjadi ciri khas pulau Bali. 

Keindahan alam hijau serta udara yang sangat segar merupakan 'kemewahan' bagi pendatang yang rasanya mustahil meresapi suasana seperti ini di kota-kota yang terlalu memikirkan industri demi pertumbuhan ekonomi.

Di desa ini, kita bisa menyaksikan langsung keseharian penduduk, berbincang-bincang akrab dan ramah, menyelami tradisi dan budaya Bali lebih mendalam dengan melihat berbagai upacara adat serta melihat perempuan-perempuan Bali yang berjalan anggun dengan tumpukan sesajen di kepalanya mengunjungi pura yang banyak berdiri di Nyuh Kuning.

Siang hari di Desa Nyuh Kuning pada bulan Oktober tak terasa panas, jauh dari polusi. Warung dan restoran mulai membuka gerainya melayani para tamu, kebanyakan menyediakan menu lokal dan nusantara, bahkan berbagai masakan dimasak dengan cara tradisional.

Tak seperti di pusat kota Ubud, di Desa Nyuh Kuning, malam lebih cepat berakhir, warung-restoran dan penyedia jasa wisata kawasan di sini tutup lebih awal, bahkan beberapa menjelang magrib. Para pelancong pun kebanyakan sudah nyaman berada di kamar villa masing masing. Sebagian besar resort memiliki kamar dengan pemandangan langsung ke arah alam. Biasanya tak menyediakan televisi di kamar.

Saya yang datang sendiri, tiap malam di penginapan menghabiskan waktu membaca buku sambil minum kopi dan ditemani sahut-sahutan suara kodok dan jangkrik. Sensasinya luar biasa menghabiskan malam-malam magis di sana. 

Menemukan waktu untuk diri sendiri, duduk berpikir dan merenung. Menghubungkan beberapa gagasan yang saya geluti selama berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun, sehingga paham betapa waktu yang bergulir tak ubahnya serigala lapar tak kenal lelah memburu aktivitas manusia yang serba cepat dan tak pernah selesai.

Seperti yang ditulis Thomas L. Friedman dalam bukunya Thank You For Being Late, mengajak kita berani memilih berhenti sejenak dan merenung, bukan panik atau menyingkir. Carilah waktu untuk lebih banyak mengerti, menghubungkan beberapa gagasan yang kita geluti, dan membentuk hubungan yang lebih dalam dan baik, supaya kita lebih sedikit takut.

Tiap malam pula menjelang tertelap, saya sempatkan memutar satu lagu berjudul Tepi Campuhan dari grup band rock legendaris, Slank. Hits yang lahir dari inspirasi berlibur di Ubud lebih dua dekade silam. Lagu ini sungguh magis dan memiliki lirik yang puitis. 

'Ku lepas mata memandang/ sawah hijau membentang/ dua ekor anjing bekejar-kejaran/ menyusuri pematang/ kulepas otak melayang ..... di sini aku sendiri/ di siniku saat ini nikmati sepi/ ..

Datanglah ke Nyuh Kuning Ubud untuk menenangkan hati dan pikiran menemukan kedamaian dan cinta.

(dok. pri)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Setelah Balapan, Konser Keren Lenny Kravitz (10)

Mencermati Teori Werner Menski: Triangular Concept of Legal Pluralism

Perjalanan Seru dari Makassar ke Jogja